Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Artikel Terpopuler Tahun Ini " Negara Gagal Bernama Indonesia "

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz mengenal Al Amin Nur Nasution sebagai orang baik dan ber-komitmen kepada partai. Karena itu, ia terkejut mengetahui Amin ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 10 April 2008, di sebuah hotel mewah, Ritz Carlton, Jakarta.

Anggota Komisi Kehutanan DPR dan Ketua PPP Wilayah Jambi itu ditangkap bersama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Azirwan, menjelang? pukul 02.00 dinihari.? Selain staf Azirwan, ada seorang wanita muda bersama mereka.? KPK menuduh Amin menerima suap dari Azirwan guna mengalihkan fungsi hutan lindung di Bintan. Sebagai barang bukti disita uang Rp 71 juta dan 33.000 dollar Singapore.

Amin orang baik? Bisa saja pendapat Irgan benar. Suami penyanyi terkenal Kristina itu, bukan preman pasar atau tukang pukul terminal. Siapa bilang bekas Ketua MPR Amien Rais bukan orang baik? Pastilah ia baik. Kalau tidak, mana mungkin terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah. Nyatanya tahun lalu, Amien mengaku menerima uang dari Rochmin Dahuri, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan, untuk ongkos kampanye.

Ketika itu, Rochmin diadili karena korupsi, dan mengaku memberikan uang kepada sejumlah politisi, antara lain, Amien Rais. Sayang, dari sekian nama politisi yang disebut, cuma Amien yang berani dan ksatria mengakuinya.

Sejumlah anggota DPR yang ter-sangkut kasus korupsi dana yayasan Bank Indonesia (BI) yang sedang diusut KPK, juga orang baik. Sama halnya dengan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah yang ditangkap KPK dalam perkara sama. Mereka bekas pimpinan ormas pemuda atau mahasiswa, atau orang terdidik. Begitu juga Mulyana Kusuma dan Prof Nazaruddin Syamsudin.

Mulyana dosen Universitas Indonesia, dikenal sebagai aktivis LSM yang hidup-nya amat sederhana tapi konsisten ber-juang menegakkan hukum dan hak asasi manusia, meski dalam zaman represif Orde Baru. Nazaruddin Syamsuddin sama saja, apalagi dia Guru Besar universitas terkemuka, UI. Tapi nyatanya mereka bersalah melakukan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), institusi yang mereka kelola.

Bila orang-orang baik menjadi korup-tor, apa sebenarnya yang salah pada negeri ini? Sebenarnya jawabnya gam-pang. Itu tak lain karena Indonesia meng-gunakan sistem politik yang amat korup-tif. Sebuah sistem yang menyebabkan para pelaku politik harus melakukan korupsi untuk mempertahankan eksis-tensi.

Begini. Sejak reformasi 1998, Indo-nesia menggunakan sistem politik dan ekonomi liberal. Setelah UUD 1945 dirombak, DPR kemudian memproduksi begitu banyak undang-undang politik mau pun ekonomi yang pada prinsipnya adalah liberal.

Indonesia pun memasuki era demok-ratis (kata para pendukungnya). Negeri ini dipuja-puji sebagai negara demokrasi terbesar setelah India dan Amerika.? Sistem demokrasi terbukti ampuh meru-buhkan tembok Berlin dan menggulung komunisme di tahun 1990-an.

Padahal sebenarnya di tahun 1991, Prof Samuel P Huntington dari Univer-sitas Harvard, sudah memberi syarat bagaimana sebuah negara bisa sukses beralih dari sistem otoritarianisme menjadi demokrasi (baca demokrasi liberal) di dalam buku The Third Wave: Democratization ini the Late Twentieth Century, yang sangat terkenal itu.

Huntington menulis bahwa income per capita menjadi syarat penting demo-kratisasi. Semakin tinggi income per capita atau pendapatan rata-rata pen-duduk sebuah negara, semakin mulus peralihan terjadi. Begitu sebaliknya. Negara dengan penduduk miskin yang beralih demokratis, menurut studi Hun-tington, akan kembali lagi menjadi otoritarianisme.

Indonesia jelas masuk kategori ber-pendapatan rendah. Tapi dalam eforia reformasi 1998, siapa peduli petuah Huntington. Apalagi kemudian ternyata ada dana 26 juta dollar dari lembaga donor Pemerintah Amerika Serikat, US-AID, di balik hiruk-pikuk reformasi. Sebuah jumlah yang cukup besar untuk menggerakkan apa saja.

Kini, telah 10 tahun reformasi berlang-sung. Lihatlah betapa menyedihkan keadaan negeri ini. Yang lebih memilukan dan memalukan: kini Indonesia termasuk? di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Indeks itu dibuat Majalah Foreign Policy yang berwibawa, bekerja sama dengan lembaga tink-tank Amerika, the Fund for Peace.

Banyak ukuran dalam membuat indeks itu. Tapi secara umum disebutkan, antara lain, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, dan ekonomi merosot. Negara paling gagal adalah Sudan, Irak, Somalia, dan Zimbabwe. Tapi bayangkan Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Konggo, Haiti, Ethio-pia, dan Uganda.

Hari-hari ini, berita radio, TV, dan koran dihiasi cerita anak-anak kurang gizi dan kelaparan.? Nasi aking? menjadi salah satu menu rakyat. Itu terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Malah di Makassar dan beberapa kota lain, dilaporkan orang meninggal dunia karena berhari-hari tak tersentuh makanan.

Indonesia dinyatakankan badan kese-hatan PBB, WHO, sebagai negara dengan korban flu burung terbanyak di dunia.? Penyakit HIV-Aids berkembang tak terkendali sampai ke daerah terpencil . Serangan diare di mana-mana. Bemacam penyakit aneh seperti lumpuh layu? ber-munculan. Pengangguran melonjak.

Artinya, kini kemiskinan merebak. Pantaslah Indonesia dikategorikan nega-ra gagal.? PBB memperhitungkan hampir separuh penduduk Indonesia hidup di bawah dua dollar perhari. Bagaimana orang bisa hidup di bawah Rp 18.000 sehari di tengah harga pangan meloncat tak terkendali?

Tapi di tengah kemiskinan dan kelaparan itu ada berita bagus: orang kaya Indonesia justru bertambah kaya. Seperti ditulis majalah bisnis Forbes, 13 Desem-ber 2007, di tahun 2007, kekayaan para konglomerat Indonesia melompat dua kali lipat. Majalah itu menyebutkan kini? Indonesia memiliki 40 konglomerat - dengan kekayaan minimal 120 juta dollar atau lebih Rp 1 trilyun - dan yang paling kaya adalah Menko Kesra Aburizal Bakrie.

Sepanjang 2007, kekayaan bersih Aburizal meningkat lebih empat kali lipat, menjadi 5,4 milyar dollar. Sungguh menakjubkan. Dengan itu ia menyalib Sukanto Tanoto, pemilik pabrik pulp dan produsen minyak kelapa sawit terbesar , dengan kekayaan 4,7 milyar dollar.

Rakyat tambah miskin, kenapa kong-lomerat tambah kaya? Terlalu sempit? halaman untuk menjelaskannya di sini. Yang pasti, sistem ekonomi liberal di mana pun di dunia ini termasuk di Amerika Serikat??? menjadikan orang kaya yang segelintir bertambah kaya.

Sejatinya sistem ini memang untuk memanjakan orang kaya. Contoh konkret, lihatlah Amerika Serikat? yang sedang dilanda resesi. Pemerintah mau pun The Federal Reserve (semacam BI di sini) sibuk membantu, menjamin, atau melobi, agar perusahaan besar selamat dari kebangkrutan. Sementara 2 juta pemilik rumah yang kreditnya macet dan dimiliki orang menengah tak dipedulikan. Mereka harus pindah karena rumahnya akan disita.

Itulah persis terjadi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998. Para konglomerat diselamatkan Pemerintah atas perintah? Bank Dunia dan IMF.? Bank Indonesia mengucurkan BLBI lebih Rp 600 trilyun. Umumnya dana ini dikemplang oleh para kong-lomerat. Sementara itu berapa banyak pengusaha kecil dan menengah yang bangkrut oleh krisis tak sedikit pun dipedulikan Pemerintah.

Berapa banyak perlakuan lain yang mengistimewakan para konglomerat. Misalnya, sejak dibentuk KPK sibuk menangkap dan menjebak para koruptor kelas teri semacam Mulyana atau Rochmin Dahuri tapi tak tak satu kong-lomerat pun yang terjerat.

Dua konglomerat penerima BLBI paling besar, Syamsul Nursalim dan Anthony Salim, dinyatakan Kejaksaan Agung tak bisa dituntut karena tak cukup bukti. Beberapa hari kemudian KPK? menangkap Jaksa Urip, penyidik kasus itu. Ia tertangkap tangan menerima suap Rp 6 milyar dari Artalyta Suryani, pembantu Syamsul Nursalim. Tapi konglomerat itu tetap aman-aman saja. Keputusan membebaskannya, sekali pun sudah terbukti ada suap di baliknya, tak pernah diralat. Masih kurang jelas?

Lihat kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Ratusan rakyat menjadi korban. Rumah tenggelam, mata pencarian hilang, tapi sampai kini? sudah lebih setahun tak seorang pun yang diseret menjadi terdakwa karena bencana itu.

Malah belakangan Pemerintah mene-tapkan sejumlah korban akan mendapat ganti rugi dari APBN, bukan dari PT Lapindo Brantas. Padahal sudah ter-ungkap sebelumnya, ada tuduhan kesalahan teknis dalam pengeboran sumur minyak dan gas itu. Pelan-pelan cerita itu kini menghilang. Semua orang tahu, pemilik Lapindo adalah salah satu orang terkaya Indonesia.

Tulisan ini tentu saja tak ingin mempertentangkan kelas kaya dan miskin. Yang hendak dikatakan bahwa semua gejala yang terjadi sekarang adalah konsekuensi dari sistem politik dan ekonomi yang digunakan, sejak Indonesia memasuki era reformasi 1998.

Marilah membicarakannya dengan jujur, tanpa dusta dan kepura-puraan. Sistem demokrasi kita sekarang, jelas sebuah sistem yang amat mahal, dan seperti studi Profesor Huntington tadi, terbukti sukses di negeri dengan pen-duduk berpenghasilan tinggi, bukan negeri miskin semacam Indonesia.

Siapa pun setuju, proses pemilihan Presiden Amerika sangat atraktif dan ideal, menjadi panggung hiburan bagi dunia. Tapi berapa banyak dollar yang dihabiskan para nominator calon pre-siden Barack Obama, Hillary Clinton, mau pun John McCain, selama satu tahun ini. Padahal pemilihan yang sesungguhnya baru November 2008, masih 7 bulan lagi.

Semua biaya itu bisa diongkosi rakyatnya karena pendapatan perkapita Amerika Serikat 50.000 dollar. Sebagai pengumpul dana kampanye terbesar, misalnya, sampai akhir Maret lalu, Senator Barack Obama telah memperoleh 234 juta dollar atau Rp 2,1 trilyun. Jumlah fantastis itu tak sulit dikumpulkan, karena Obama memiliki 1,3 juta penyumbang. Berarti, tiap donator rata-rata menyum-bang tak sampai 200 dollar atau Rp 1,8 juta. Jumlah itu tentu tak memberatkan bagi para Obamania, termasuk untuk membiayai kampanye pemilihan presiden nanti, yang jumlahnya pasti lebih besar, bila Obama lolos ke babak final.

Itulah yang sulit dilakukan di sini. Mana ada rakyat yang mampu menyum-bang jutaan rupiah, sementara untuk hidup sehari-hari saja sudah ngos-ngosan. Padahal sekali pun tak sebesar di Amerika Serikat, proses rekrutmen politik di Indonesia tetap butuh biaya besar.

Berbagai perhitungan menyebutkan, untuk kampanye menjadi anggota DPR dibutuhkan dana setidaknya Rp 1 milyar sampai Rp 2 milyar. Menjadi bupati Rp 5 milyar sampai Rp 10 milyar, dan untuk gubernur bisa sampai Rp 50 milyar. Apalagi untuk kursi Presiden, jumlahnya bisa berlipat-lipat. Dari mana dana diperoleh?

Karena tak ada sumbangan rakyat? prakteknya rakyatlah yang disumbang politisi — mereka mencari dana politik melalui para konglomerat. Tentu itu untuk politisi dengan posisi tertentu.? Karena itu, konglomerat menempati posisi istimewa. Mungkin ada pula politisi yang mendapat dana dari negara asing, seperti dituduhkan Amien Rais waktu itu.

Yang lain mengumpulkan dana mela-lui lembaga negara, apakah departemen, BUMN, atau DPR. Begitu pula jabatan penting di daerah. Semakin bergigi sebuah lembaga, semakin efektif ia sebagai pengumpul dana.

Seperti terbukti dari berbagai kasus, DPR efektif sebagai mesin pengumpul uang. Apakah melalui pembuatan undang-undang? atau berbagai aktivitas dan wewenang lain. Pantas saja? group musik Slank berdendang bahwa di mata mafia Senayan, UUD? berarti ujung-ujungnya duit. Buktinya adalah Al Amin Nur Nasution dan perkara yayasan BI. Dan satu hal yang pasti, Al Amin yang lain di luar penjara jumlahnya lebih banyak lagi. Apalagi sebentar lagi ada Pemilu. [amran nasution]

Saya nobatkan sebagai artikel populer berdasarkan vote di lintas berita untuk kategori berita lokal. Artikel ini sendiri di publikasikan di gaulislam.com