Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Tak Ada PR di Finlandia Mitos yang Telanjur Populer

Di Finlandia para guru memberikan PR yang tidak berat.
Selama ini masyarakat Indonesia cukup banyak membaca dan melihat berita mengenai nyamannya bersekolah di Finlandia. Begitu banyak ulasan di Facebook atau Youtube mengenai Finlandia. Beberapa dari kita mungkin juga penasaran, apakah benar di sana murid-murid tidak diberi PR?

Tak heran, banyak yang penasaran tentang pendidikan di negara kecil dengan jumlah total penduduk tak lebih dari 6 juta orang tersebut. Siswa-siswa Finlandia selalu memperoleh peringkat atas pada tes PISA atau Programme for International Student Assessment.

Timothy D. Walker, dalam buku terbarunya Teach Like Finland atau Mengajar seperti Finlandia mengatakan itu adalah mitos yang telanjur populer. Menurut Tim, itu tidak benar, para siswa tetap mendapatkan PR, namun diberikan dengan sangat memperhitungkan tingkat kesulitannya.

Seperti yang SekolahDasar.Net lansir dari Kompas (26/01/18), para guru memberikan PR yang tidak berat, bahkan rata-rata dapat dikerjakan dalam waktu 30 menit saja. Intinya, mereka ingin para siswa benar-benar mendapatkan istirahat yang cukup sepulang sekolah, dan dapat melanjutkan aktivitas yang lain.

Sekolah dan masyarakat Finlandia bekerja sama untuk mengupayakan siswa-siswa yang mandiri. Percayalah, Anda akan terkaget-kaget melihat siswa SD yang pergi-pulang sekolah sendirian, naik bus atau kereta. Dari semangat mandiri itulah para siswa terbiasa untuk berpikir dengan cermat, bahkan menembus batasannya.

Tim menggarisbawahi bahwa esensi pendidikan yang sewajarnya berjalan seiring dengan prinsip universal hidup bagi masing-masing orang. Kebahagiaan diberi tempat yang utama dalam kurikulum di Finlandia. Sistem pendidikan yang membahagiakan menjadi fokusnya. Anak yang gembira mempelajari banyak hal dengan enteng.

Orang Indonesia tentu sering mendengar banyak orang tua atau guru yang "memaksa" anak untuk bisa menguasai banyak hal di luar kemampuannya. Anak-anak pun bekerja dengan tanpa henti, belajar dengan tergesa-gesa. Akibatnya pendidikan berjalan dengan terpaksa sebab lebih seperti sebuah siksaan. Pendidikan menjadi tidak menyenangkan.