Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengertian Nilai dan Moral dalam PKn

SEKOLAHDASAR.NET - Menurut Koyan (2000: 12), nilai adalah segala sesuatu yang berharga. Menurutnya ada dua nilai yaitu nilai ideal dan nilai aktual. Nilai ideal adalah nilai-nilai yang menjadi cita-cita setiap orang, sedangkan nilai aktual adalah nilai yang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Kohlberg (Zuchdi, 2003: 3) mengklasifikasikan nilai menjadi dua, yaitu nilai obyektif dan nilai subyektif. Nilai obyektif atau nilai universal yaitu nilai yang bersifat intrinsik, yakni nilai hakiki yang berlaku sepanjang masa secara universal. Termasuk dalam nilai universal ini antara lain hakikat kebenaran, keindahan, dan keadilan. Adapun nilai subyektif yaitu nilai yang sudah memiliki warna, isi dan corak tertentu sesuai dengan waktu, tempat dan budaya kelompok masyarakat tertentu. Dari berbagai pendapat mengenai pengertian dari nilai tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga bagi kehidupan manusia.

Pendidikan nilai dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Zuchdi, 2003: 4). Pendidikan nilai yang dilakukan tidak hanya menggunakan strategi tunggal saja, seperti melalui indoktrinasi, melainkan harus dilakukan secara komprehensif.

Strategi tunggal dalam pendidikan nilai sudah tidak cocok lagi apalagi yang bernuansa indoktrinasi. Pemberian teladan atau contoh juga kurang efektif diterapkan, karena sulitnya menentukan siapa yang paling tepat untuk dijadikan teladan. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan nilai mencakup berbagai aspek. Pertama, pendidikan nilai harus komprehensif meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan nilai, mulai dari pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum. Kedua, metode yang digunakan dalam pendidikan nilai juga harus komprehensif dalam arti menggunakan suatu hal yang sesuai dengan etiket kehidupan dan sesuai norma yang berlaku serta mempunyai andil dalam kelangsungan interaksi manusia. Termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan, dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggungjawab dan keterampilan-keterampilan hidup yang lain.

Generasi muda perlu memperoleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga, guru, dan masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga mereka perlu memperoleh kesempatan yang mendorong mereka memikirkan dirinya dan mempelajari keterampilan-keterampilan untuk mengarahkan kehidupan mereka sendiri. Ketiga, pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan, seperti di kelas, dalam kegiatan ekstra kurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan dalam semua aspek kehidupan. Contoh-contoh mengenai hal tersebut misalnya tercermin dalam kegiatan yang dilakukan oleh siswa seperti belajar kelompok, penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan. Penggunaan klarifikasi nilai dan dilema moral, pemberian teladan tidak merokok, tidak korupsi, tidak munafik, dermawan, kejujuran, menyayangi sesama mahluk ciptaan Tuhan, dan lain sebagainya. Keempat, pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, aparat penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai.

Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai mempengaruhi kualitas moral generasi muda (Zuchdi, 2003: 11).Lebih lanjut Zuchdi (2003: 14) menuliskan bahwa untuk mencapai tujuan tercapainya pendidikan nilai secara komprehensif ada berbagai cara yang dapat dilakukan. Di Amerika Serikat untuk merealisasikan pendidikan nilai, berbagai metode, program, dan kurikulum telah dikembangkan dalam rangka menolong generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih memuaskan dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat dari substansinya, ada empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai yang komprehensif yaitu realiasi nilai, pendidikan watak, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral.

Adapun pengertian moral berasal dari bahasa latin mores, dari suku kata mos yang artinya adat istiadat, kelakuan, watak, tabiat, akhlak (Soenarjati, 1989: 25). Dalam perkembangannya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik dan susila (Suyitni, 1989: 25). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah hal-hal yang berkenaan dengan kesusilaan. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Sebaliknya jika perilaku individu itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, maka ia akan dikatakan jelek secara moral.

Terkait dengan persoalan moral, para ahli psikologi dan ahli filsafat tidak didapatkan kata sepakat mengenai persoalan apa sebenarnya yang membentuk suatu masalah moral. Namun demikian sebagian para ahli sependapat bahwa masalah moral akan muncul manakala terjadi suatu pertentangan ataupun konflik mengenai persoalan tujuan, rencana, hasrat ataupun keinginan serta harapan manusia. Kepekaan seseorang mengenai kesejahteraan dan hak orang lain merupakan pokok persoalan ranah moral. Kepekaan tersebut mungkin tercermin dalam kepedulian seseorang akan konsekuensi tindakannya bagi orang lain, dan dalam orientasinya terhadap pemilikan bersama. Ketika anak-anak berhadapan pada pertentangan seperti itu, maka diharapkan teori perkembangan dapat mengatasinya. Dengan kata lain, teori ini memusatkan perhatian secara khusus pada bagaimana cara anak-anak menghadapi pertentangan tersebut. Selain itu, proses yang mereka lakukan dalam menyelesaikan permasalahan moral dapat untuk memotivasi agar mereka memperhatikan kepentingan orang lain dan kecenderungan untuk merasa tidak senang manakala mereka tidak memperhatikan kepentingan orang lain

Pendidikan moral merupakan salah satu pendekatan yang dianggap sebagai gerakan utama dalam pendidikan nilai secara komprehensif. Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan mengatasi konflik, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang (kemudian dinyatakan dengan istilah ”bermoral”). Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, memahami nilai-nilai moral, dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen yaitu pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan mementingkan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2003: 13).