Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Siapkah Guru Menghadapi Penilaian Kinerja?

Oleh: Ali Ansori, S.S, M.Pd
Widyaiswara LPMP Prov. Kep. Bangka Belitung


Menjelang pelaksanaan Penilaian Kinerja Guru (PKG) 2013 yang dikhususkan bagi guru yang sudah bersertifikasi, para guru dituntut untuk mempersiapkan diri terutama di beberapa aspek dalam lingkup kompetensi pedagogik dan professional mereka. Diantara aspek yang dimaksud adalah kegiatan perancangan, pelaksanaan yang mencakup kegiatan awal, inti dan akhir. Sedangkan aspek yang ketiga adalah evaluasi. Bagaimana seharusnya para guru menyongsong program yang sangat menentukan karir kedepan mereka tersebut? Be creative!, mungkin itulah jawaban idealnya. Tulisan ini bermaksud menggugah setiap guru untuk selalu mengasah lebih tajam kreatifitasnya masing-masing. Sebab dengan menjadi kreatiflah ia yang bersangkutan dapat menunjukkan kinerja yang baik, bahkan baik sekali saat mengikuti PKG nanti. Namun, yang lebih penting adalah ia mampu menunjukan keprofesionalan dalam melaksanakan tugas secara berkesinambungan kapanpun dan dimanapun.

Berangkat dari pelbagai fakta dan pengalaman di lapangan dalam berinteraksi dengan para pendidik di semua level pendidikan melalui kegiatan diklat, magang, monitoring dan evaluasi, dapat penulis gambarkan bahwa kompetensi pedagogik dan profesional guru masih perlu ditingkatkan. Tuntutan agar para guru memiliki kreatifitas yang berkesinambungan dalam dua kompetensi diatas merupakan suatu hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata, bahkan mustahil diabaikan. Ini berarti bahwa guru membutuhkan dorongan yang maksimal untuk melakukan itu, baik dari internal guru itu sendiri maupun eksternal dirinya.

Menurut Prof. Dr. Selo Soemardjan, kreatifitas merupakan sifat pribadi seorang individu (dan bukan merupakan sifat sosial yang dihayati oleh masyarakat) yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru. Jadi, setiap orang sebenarnya memiliki potensi kreatif, namun dalam derajat yang berbeda-beda dan dalam bidang yang berbeda-beda. Potensi ini perlu dipupuk sejak dini agar dapat diwujudkan. Untuk itu diperlukan kekuatan-kekuatan pendorong, baik dari luar (lingkungan) maupun dari dalam individu sendiri.

Carl Rogers menyebutkan tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif, yaitu: Pertama, Keterbukaan terhadap pengalaman. Kita tahu bahwa tugas pokok guru adalah mengajar, mendidik dan melatih. Ketiga hal tersebut secara simultan terintegrasi dalam kegiatan rutinitas setiap guru di sekolah. Melalui rutinitas tersebutlah setiap guru sebenarnya bisa berefleksi, memikirkan kembali apa yang sudah dikerjakan, melakukan perencanaan baru untuk tindakan selanjutnya, dan melakukan tindakan baru yang relevan sambil selalu melakukan pengamatan untuk refleksi diri buat tindakan berikutnya. Begitulah seharusnya langkah-langkah tersebut berjalan membentuk lingkaran-lingkaran kreatifitas, dimana guru terus belajar melalui pengalaman-pengalamannya sendiri. Experience is the best teacher. Jadi sebenarnya melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan langkah yang tepat bagi guru untuk membuat perubahan-perubahan yang konstruktif dalam pembelajaran. Karena menurut Depdiknas, PTK merupakan bentuk kajian yang sistematis reflektif, dilakukan oleh pelaku tindakan atau guru, dan dilakukan untuk memperbaiki kondisi pembelajaran. Melalui PTKlah nantinya perbaikan pembelajaran, profesionalisme, self confidence, pengembangan pengetahuan dan keterampilan, peningkatan hasil belajar, dan peningkatkan kualitas pendidikan akan muncul.

Kedua, kemampuan untuk menilai situasi patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation). Dari pengalaman-pengalaman yang sudah dilakukan, setiap guru seharusnya dapat memetakan dirinya sendiri sehingga terbentuklah profil diri berupa kekuatan atau kelemahan kinerjanya. Profil diri tersebutlah yang akan membantunya dalam mengevaluasi diri untuk melaksanakan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya. Misalnya, ketika ia menemukan dirinya lemah dalam pelaksanakan proses belajar mengajar yang ditandai dengan rendahnya hasil belajar dan rendahnya motivasi belajar siswa, maka berarti yang bersangkutan harus meningkatkan kompetensi pedagogiknya melalui berbagai kegiatan yang relevan dan menunjang seperti membaca berbagai sumber mengenai cara mengajar yang tepat, mengikuti seminar, lokakarya tentang pengelolaan kelas, melakukan peer teaching dan lain sebagainya.

Yang ketiga adalah berani bereksperimen, yaitu kemampuan untuk bermain atau bereksplorasi dengan unsur-unsur, bentuk-bentuk, konsep-konsep, serta membentuk kombinasi-kombinasi baru berdasarkan hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal ini, guru sebagai agent of change harus berani mencoba melakukan segala bentuk eksperimen, karena dari percobaan-percobaan tersebutlah yang bersangkutan mampu meningkatkan kompetensi diri, menemukan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Bahkan, ia akan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang joyful dan meaningful bagi para siswa di kelas karena mereka telah dilibatkan secara langsung, bertemu dengan banyak exposure, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang konkrit. Hal ini tentu relevan dengan apa yang dikatakan oleh seorang Confusius yang sangat populer dalam dunia pendidikan yang berbunyi I hear and I forget, I see and I believe, dan I do and I understand. Jadi, ujaran tersebut sebenarnya merupakan bentuk motivasi kenapa guru harus menerapkan pendekatan student-centered dalam pelaksanaan pembelajaran.

Drs.A.M.Heru Basuki, Mpsi., seorang dosen psikologi mengatakan bahwa apabila seseorang memiliki ketiga ciri kreatifitas diatas, maka kesehatan psikologisnya sangat baik. Hal tersebut karena ia akan berfungsi sepenuhnya menghasilkan karya-karya kreatif, dan hidup secara kreatif. Ketiga ciri atau kondisi tersebut merupakan dorongan dari dalam (internal press) untuk kreasi.

Selain faktor-faktor internal tersebut, setiap orang juga bisa berkreasi jika ada dorongan dari luar. Bagi seorang guru, faktor-faktor eksternal yang dapat menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individunya adalah faktor leadership, interpersonal dan environment. Menurut sebuah hasil penelitian dari Ohio State University bahwa faktor kepemimpinan di sekolah berpengaruh 71,4% terhadap kinerja guru. Jadi peran kepala sekolah sebagai pemimpin memberikan dampak yang besar bagi civitas akademik sekolah. Hal itu karena kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah secara keseluruhan, dan kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Dalam suatu lingkungan pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab penuh untuk mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kompetensi profesionalnya. Sebagai contoh, ketika seorang kepala sekolah bersikap responsif terhadap kebutuhan guru menjelang pelaksanaan PKG 2013, maka iapun mulai membuka kesempatan bagi para guru untuk melakukan pengembangan-pengembangan diri. Misalnya dengan memfasilitasi para guru dengan sarana prasarana berupa internet, bahan ajar, alat peraga dan media atau multi media pembelajaran yang variatif dan aplikatif sesuai dengan yang mereka butuhkan agar mereka lebih eksploratif dalam menyiapkan dan melakukan pembelajaran. Disamping juga ia memberi akses kepada setiap guru untuk bisa belajar mandiri atau dengan teman sejawat melalui pelaksanaan Lesson Studi sekolah atau PTK dan mengadakan berbagai kegiatan penunjang lainnya tentang pengelolaan kelas, pengembangan silabus dan RPP, penerapan pendekatan, metode, dan model pembelajaran melalui kegiatan workshop ataupun diklat. Dengan cara demikian, para guru akan termotivasi untuk selalu aktif dan kreatif dalam melaksanakan tupoksi mereka.

Faktor eksternal berikutnya adalah Interpersonal. Menurut Teori Multiple Intelligences (Gardner,1993), kemahiran interpersonal didefinisikan sebagai upaya untuk berinteraksi dengan orang lain dan memahami mereka. Pengajaran bisa diuraikan sebagai suatu proses yang berkaitan dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan keterampilan supaya murid dapat mempelajari dan menguasainya dengan berkesan (meaningful). Proses pembelajaran tidak dapat dilaksanakan dengan berkesan tanpa komunikasi yang berkesan. Oleh sebab itu untuk memastikan pengajaran dapat disampaikan dengan berkesan, guru-guru harus mempunyai kemahiran komunikasi interpersonal untuk menarik perhatian pelajar memahami apa yang coba disampaikan. Dengan kata lain, baik atau buruknya kaedah pengajaran dan pembelajaran yang dilahirkan dapat dihubungkan dengan corak komunikasi yang dipakai antara guru dan murid baik melalui lisan ataupun non lisan. Jadi, komunikasi interpersonal sangat penting dimiliki oleh setiap guru. Dengan komunikasi yang dimaksud guru bisa menciptakan interaksi yang baik antara ia dengan siswa dan siswa dengan siswa dalam berbagai bentuk kegiatan pembelajaran, misalnya bertanya, diskusi, bercerita, presentasi dan lain sebagainya. Maka semakin baik komunikasi yang ia bangun, sebenarnya semakin baik pula upayanya untuk meningkatkan profesionalitas dan kualitas pembelajaran di kelas. Hal ini tentu akan semakin mendorongnya untuk selalu berkreasi terus menerus guna mencari yang terbaik.

Sedangkan faktor yang terakhir adalah Environment. Secara eksplisit dinyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan pembelajaran baik lingkungan alam, (psiko)sosial dan budaya (Depdikbud, 1994). Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa lingkungan sekolah dimana rasa kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan sarana memadai, target akademik tinggi, dan kemantapan integritas sekolah sebagai suatu institusi dapat mendukung pencapaian prestasi akademik siswa yang lebih baik. Selain dari itu, ditemukan juga bahwa iklim kerja sekolah dimana pemberdayaan guru menjadi prioritas adalah sangat esensial bagi keefektifan sekolah yang pada muaranya mempengaruhi prestasi siswa secara keseluruhan. Jadi, lingkungan sekolah yang kondusif dapat mendorong ke prilaku positif seorang guru. Ia akan menjalankan tugas dan perannya secara optimal karena ia dapat berkreasi mengembangkan ide-ide yang ia punya menjadi suatu yang bermakna.

Berdasarkan pembahasan diatas, dapat penulis katakan bahwa guru yang kreatif dapat dicirikan dari kemampuannya dalam melaksanakan tupoksi secara profesional, antara lain: 1), mampu mengekspos siswa pada hal-hal yang bisa membantu mereka dalam belajar, 2) mampu melibatkan mereka dalam segala aktivitas pembelajaran, 3) mampu memberikan motivasi buat siswa baik secara verbal maupun non verbal, 4) mampu mengembangkan strategi pembelajaran (penerapan pendekatan, metode, model dan tehnik) dalam proses pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan karakter materi, 5) mampu menciptakan pembelajaran yang joyful dan meaningful, 6) mampu berimprovisasi dalam proses pembelajaran 7), mampu membuat dan mengembangkan media pembelajaran yang menarik dan aplikatif, 8) mampu membuat dan mengembangkan bahan ajar yang variatif dan 9) mampu menghasilkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran.

Kreatifitas mendatangkan perubahan. Kalimat itulah yang mungkin harus selalu dipegang oleh para guru, sehingga mereka berpikir bahwa keterpanggilan untuk berkreasi ternyata merupakan suatu tuntutan yang wajar. Bahkan sebaliknya, tidaklah wajar jika tidak ingin berkreasi. Kita selalu ingat slogan sebuah perusahaan otomotif yang berbunyi : “inovasi tiada henti”. Artinya bahwa, jika mereka tidak cepat berinovasi, maka konsekwensi logisnya mereka akan sulit maju terdepan bahkan tidak mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Jadi, sangat menarik sekali bila guru dengan meminjam istilah tersebut selalu berusaha untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam melaksanakan tupoksinya. Kreatif berarti berani berubah, karena dapat memberikan spectrum hasil yang berbeda dari setiap tindakan yang berbeda.

Namun, guru tidak harus menunggu ketok palu PKG berbunyi dulu untuk berubah, karena mengubah paradigma lama menuju paradigm baru dalam melakukan pembelajaran adalah sebuah tuntutan bukan tawaran. Harus dilakukan sedini mungkin. Bahkan dalam hukum agama bisa dikatakan fardlu ‘Ain, yaitu suatu hal yang wajib dilaksanakan setiap individu. Dalam Al-Quran sendiri Allah subhanahu wata’ala menegaskan bahwa tidak akan berubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri mengubahnya (Arro’du: 11). Jadi, eksistensi manusia itu ada justru karena perubahan itu sendiri.

*) Artikel ini dikirim oleh penulis ke SekolahDasar.Net