Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Anak Usia SD Adalah Masa Emas Belajar Bahasa

Anak sekolah dasar (SD) yang berusia 7-12 tahun secara psikologis berada pada masa kanak-kanak tengah, middle childhood. Usia ini menjadi masa emas untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Menurut Erikson, tokoh psikososial, kemampuan berbahasa anak pada usia ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret. Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah.

Ketika anak berusia 6-13 tahun atau berada di bangku sekolah dasar, area pada otak yang mengatur kemampuan berbahasa terlihat mengalami perkembangan paling pesat. Pada usia SD seperti itu biasa disebut juga sebagai critical periods.

Kemampuan anak pada usia SD dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada pada kondisi optimal. Berdasarkan hasil riset teknologi brain imaging di University of California, Los Angeles, secara biologis anak usia SD menjadi waktu yang tepat untuk mempelajari bahasa asing.

Anak-anak yang belajar mempelajari bahasa asing lain mempunyai kemampuan lebih dalam tugas memori episodic, mempelajari kalimat dan kata, dan memori semantic, kelancaran menyampaikan pesan dan mengategorikannya.

Hal ini menunjukkan bahwa mempelajari bahasa asing tidak akan mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun. Belum ada bukti bahwa bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep.

Anak-anak SD mampu memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman terhadap bahasa ibunya dalam empat keterampilan berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, anak-anak usia SD secara biologis berada dalam masa emas untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia. Hurlock (1993)

Di SD anak-anak lebih cenderung pada bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Inilah yang menjadi masalah, anak lebih termotivasi belajar bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia sehingga penguasaan bahasa Indonesia lebih jelek daripada bahasa Inggrisnya.

Seperti yang ditulis oleh Ainna Amalia FN, Dosen Psikologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya, menghilangkan bahasa Inggris dari kurikulum SD bukan solusi terbaik. Masalahnya ada pada sisi perhatian dan minat anak terhadap Bahasa Indonesia. Sehingga perlu perbaikkan dan membuat menarik pelajaran bahasa yang kurang mendapat perhatian dan minat itu. Perlu adanya pembenahan komprehensif, baik isi maupun metode pembelajarannya. Metode yang dipakai harus variatif dan kreatif serta media pembelajaran yang menarik.

Penguasaan bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab sosial anak sebagai bahasa nasional. Di sisi lain, bahasa Inggris juga penting sebagai bekal generasi kita dalam menghadapi era globalisasi.