Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Menjadi Guru yang Dicintai Siswa

Guru terlebih dahulu harus mencintai siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa.
Mengharap seseorang mencintai kita tentu tidaklah mudah. Namun, tentu saja bukan hal yang mustahil, apalagi jika kita telah banyak tahu tentang orang tersebut. Jika keinginan untuk dicinta tersebut berhasil, maka rasa senang tak terhingga pada diri kita. Cinta sejati, itulah cinta yang diharapkan. Bukan cinta buta yang sering membuat kita tidak terkontrol dan rela melakukan apa saja. Cinta sebenarnya anugerah dari-Nya yang tentu saja harus diusahakan kehadirannya dan dijaga kelestariannya. Melakukan apa yang disenangi dari yang diharapkan cintanya tersebut tentu suatu yang harus dilakukan. Seperti halnya guru yang mengharap cinta siswanya, haruslah mengusahakan segala yang disukai oleh siswanya itu.

Apa yang disukai siswa?

Dimana ada gula di situ ada semut. Demikian pepatah yang lazim untuk mengungkap kedekatan antara satu dengan yang lainnya. Apakah sesuai jika dikatakan: dimana ada guru di situ ada siswa? Jika kalimat tersebut untuk menyatakan yang terlihat kasat mata, bahwa interaksi belajar mengajar terjadi dengan keberadaan guru dengan siswa, maka hal tersebut benar. Namun, jika yang diharapkan seperti arti pepatah tadi, maka harus lebih diteliti lebih mendalam lagi. Semut akan mendekati dan mengerumuni gula karena mereka (semut) sangat suka mengonsumsi gula. Semut dengan rela dan ikhlas bahkan senang menyatu dengan gula. Semut akan merasa rugi jika gula ada disekitarnya tapi mereka tidak mendekatinya. Semut akan selalu merindukan gula.

Seringkali proses pembelajaran yang berlangsung yang menampilkan interaksi antara guru dan siswa, diselimuti keterpaksaan. Masing-masing hanya menjalankan fungsinya, tanpa ada rasa saling membutuhkan. Sering, bukan rasa senang yang ada dengan pertemuan guru siswa tapi malah perasaan jenuh dan membosankan. Tentu, tujuan dari berlangsungnya proses pembelajaran tidak akan tercapai jika kondisi tersebut senantiasa terjadi. Seperti halnya gula dengan rasa manisnya sehingga menarik semut untuk mengerumuninya, maka guru haruslah memahami apa yang disukai siswa sehingga siswa memunyai alasan untuk mencintai gurunya.

Hubungan antara guru dengan siswa adalah hubungan yang tidak sederajat. Artinya harus ada yang melakukan pengondisian sehingga hubungan harmonis dapat tercipta. Tentu dalam hal ini, guru merupakan factor penentu menciptakan hubungannya dengan siswa menjadi berhasilguna. Guru sejatinya mengondisikan dirinya sesuai apa yang diharapkan siswa ada pada gurunya. Sebagai guru, tentu telah memahami apa saja yang menjadi kesukaan siswa. Itulah yang harus dimunculkan dan biasakan ada pada saat interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Hampir semua siswa akan menyukai gurunya yang pintar dan beretika. Humoris tentu tak kalah pentingnya harus dimiliki guru sebagai hal yang juga disukai siswa. Kepedulian dan kasih sayang akan membuat siswa “kelimpungan” kepada gurunya itu. Serius dan tegas juga sekali-kali disukai siswa ada pula pada kepribadian gurunya. Sepatutnya, kesemua yang disukai siswa tersebut ada pada diri guru dengan tanpa hal yang dibuat-buat tetapi merupakan kepribadian yang melekat. Tapi, jika beberapa hal yang tak mungkin menjadi kepribadian guru, maka tentu saja dapat “dipaksakan” untuk dimunculkan. Jika seorang guru yang serius, sering sulit untuk humoris. Pada titik inilah, “perjuangan” untuk dicinta oleh siswa harus “dikobarkan”.

Menggapai Cinta Siswa yang Sejati

Cinta yang dimaksud tentu bukan cinta dengan lawan jenis, tetapi kecintaan antara pendidik dengan peserta didik. Jika seorang guru telah memunculkan apa yang disukai oleh siswa, maka kecintaan yang diharapkan dari siswanya akan hadir. Guru akan senang tatkala siswa menunggunya dengan keceriaan saat proses pembelajaran akan berlangsung. Guru akan gembira manakala siswa menantinya dan menanyakan alasan ketidakhadirannya. Guru akan optimis disaat kelas menjadi hidup dari keaktifan siswa mengikuti pembelajaran. Kesemua itu merupakan penjelmaan cinta siswa kepada gurunya.

Sangat disayangkan jika ada guru yang justru tak ingin dicinta oleh siswa. Bukan dari mulut lontaran ketidaksukaannya dengan cinta siswa, namun dari sikap dan prilaku guru tersebut. Guru yang hanya berkutat pada kondisi sekadar menjalankan tugasnya saja. Guru yang merasa cukup dengan kompetensinya yang tanpa perkembangan sejak awal menjadi guru. Guru yang tidak berusaha menciptakan suasana kelas yang hidup, bahkan memelihara kelas yang kaku dan “angker”. Guru yang hanya selalu ingin dimengerti dan dituruti oleh siswa. Guru yang merasa profesinya sebagai guru adalah untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan siswa. Semuanya itu merupakan sikap dan prilaku guru yang tak mengharap cinta siswa.

Cinta siswa yang sejati kepada gurunya, bukanlah berwujud ketegangan dan kekakuan dalam menerima pelajaran. Bukan pula senyum merekah saat bertemu guru dan tatkala guru telah berlalu berubah menjadi celoteh. Oleh karena itu, guru terlebih dahulu harus mencintai siswanya dengan memunculkan segala yang disuka siswa. Cinta siswa yang sejati kepada guru, akan mengalirkan apa yang guru harapkan kepada siswa, dapat terwujud. Keikhlasan dan kerinduan siswa menerima pendidikan dan pengajaran dari guru akan berwujud keberhasilan siswa sebagai harapan semua guru. Oleh karena itu, menjadi sangat penting menggapai kondisi dimana guru yang dicinta oleh siswa. Cinta sejati siswa akan terus dibawanya meskipun interaksi dalam proses pembelajaran dengan gurunya tidak terjadi lagi. SEKIAN.

*) Ditulis oleh MUH. SYUKUR SALMAN, Guru SD Negeri 71 Parepare