Semangat Nurul untuk Memintarkan Anak-anak Gunung
Sakit hati tak selalu berbuah dendam. Sebaliknya, sakit hati diakui Nurul Karimah justru melecut energi positif untuk mendirikan komunitas belajar, layanan pendidikan gratis bagi anak-anak putus sekolah di lereng Gunung Sumbing.
Komunitas Belajar Cendekia Mandiri didirikan Yayasan Cendekia Mandiri, yang diketuai Nurul. Letaknya di lereng Gunung Sumbing, Dusun Kemloko, Desa Kemloko, Kecamatan Tembarak, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Setiap hari mereka menyelenggarakan kegiatan belajar bagi anak-anak yang tak lulus SD atau tak mampu merampungkan SMP. Lokasinya di bekas gudang tembakau, di rumah Mbah Dawam, seorang warga.
Pendirian komunitas belajar itu dilatarbelakangi pengalaman pribadinya. Sebagai anak pertama dari 10 bersaudara keluarga petani, dia sempat hampir tak bisa belajar di SMA karena tak ada biaya. Nurul memenuhi biaya sekolah dengan bekerja di salon dan membuat kue. Upaya ini terus dia lakukan hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Kendati berhasil mencapai apa yang dicita-citakan, rasa khawatir saat dirinya terancam putus sekolah gara-gara tak ada biaya menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Bahkan, saat Nurul telah menjadi guru Matematika di SMP 5 Temanggung, kenangan itu muncul kembali saat dia melihat banyak anak didiknya mengalami nasib serupa dirinya, terancam putus sekolah karena tak ada biaya.
”Saya yakin, mereka merasakan sakit hati yang sama seperti saya dulu,” ujarnya.
Melihat kenyataan tersebut, hatinya tak tenang. Ia merasa harus membantu. Niat itu semakin kuat setelah melihat hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Temanggung tahun 2005, yaitu angka partisipasi kasar (APK) di desa-desa di lereng gunung, anak-anak SD yang melanjutkan ke SMP sekitar 70 persen.
”Seorang teman bercerita, di suatu dusun di lereng Gunung Sumbing, dari 80 anak yang lulus SD, hanya 20 anak yang melanjutkan ke SMP,” ujarnya.
Nurul mendiskusikan niat membantu anak-anak putus sekolah itu dengan rekan-rekannya alumni SMA Negeri 1 Temanggung. Gayung pun bersambut. Temannya, Sri Yudono dan Anif Punto Utomo, mendukung niat itu. Mereka menggunakan rumah Mbah Dawam, kakek Sri Yudono, sebagai lokasi sekolah.
Nurul memilih lokasi di desa. Alasannya, ”Kalau di pusat Kecamatan Temanggung, sekolah itu tak banyak berarti karena mayoritas masyarakat di perkotaan terbilang mampu dan terbuka akses buat bersekolah di mana saja. Lebih baik kami membantu di daerah terpencil, yang jumlah sekolahnya terbatas”.
Berbagai Latar Belakang
Mereka lalu bekerja. Disediakanlah dua meja, dua white board, dan tiga komputer. Agar memiliki dasar hukum, Nurul melaporkan pendirian komunitas belajar ini kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal serta Kantor Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kecamatan Tembarak.
Untuk menarik murid, pembukaan komunitas pada 2007 itu diumumkan lewat Pemerintah Desa Kemloko. Dari target 20 murid, jumlah anak yang mendaftar mencapai 37 orang. Proses pembelajaran dimulai dengan melibatkan tujuh relawan, termasuk Nurul.
Proses memintarkan anak-anak gunung pun dimulai. Ini bukan tugas mudah karena para murid berasal dari berbagai latar belakang. ”Selulus SD, ada murid yang langsung menjadi buruh tani, kuli bangunan, hingga pencuri kayu di hutan,” ujarnya.
Maka, pada awal kegiatan belajar para murid sulit diatur. Mereka berpembawaan liar dan acap berkata-kata kasar. Nurul menyikapinya dengan memberi tambahan materi pendidikan budi pekerti, di luar mata pelajaran umum.
Kendala lain juga muncul dari luar komunitas. Pada tahun pertama berdiri, Komunitas Belajar Cendekia Mandiri malah ditentang sebagian warga. Bahkan, sejumlah tokoh masyarakat curiga mereka mengajarkan aliran agama tertentu.
”Waktu itu kami sampai mendapat peringatan keras dan diminta angkat kaki dari Desa Kemloko,” ujarnya.
Nurul mengatasinya dengan menguatkan ikatan di antara para murid. Dengan upaya ini, dia berharap anak-anak tetap bersemangat belajar bersama dan mampu memberi citra baik komunitas kepada masyarakat desa.
Minat Belajar Rendah
Ketika komunitas belajar sudah diterima warga, muncul tantangan lain. Ternyata minat belajar sebagian murid itu rendah. Ini mengakibatkan jumlah murid menyusut, hingga hanya ”tersisa” 23 siswa. Jumlah siswa ini pun naik-turun seiring aktivitas musim tanam dan panen tembakau.
”Sekolah ini berada di lingkup petani tembakau sehingga kami harus memahami bahwa anak-anak itu diwajibkan membantu orangtua bertani tembakau,” ujarnya.
Mengikuti ritme kesibukan bertani dan musim panen tembakau pada Agustus-September, jam belajar yang sebelumnya berlangsung setiap hari pun diubah menjadi sekali dalam seminggu.
Kurikulum yang dipakai mengacu pada kurikulum pendidikan luar sekolah, meskipun di luar kurikulum setiap anak bebas untuk memilih belajar apa saja, mulai dari melukis, menari, bernyanyi, atau mengutak-atik komputer. Semuanya gratis.
”Terkadang kami mengajak teman yang punya keahlian khusus untuk mengajar dan membagi ilmunya dengan anak-anak komunitas,” ujarnya.
Dengan cara itu, tahun lalu anak-anak di Komunitas Belajar Cendekia Mandiri bisa membuat film indie didampingi seorang produser film indie dari Yogyakarta.
Dalam menyampaikan materi pelajaran pun, pengajar menempatkan diri setara dengan para murid. ”Anak-anak bebas bertanya, protes, atau berdialog dengan pengajar tanpa harus memanggil dengan embel-embel mas, mbak, pak, atau bu.”
Untuk mendukung biaya operasional, Komunitas Belajar Cendekia Mandiri didukung dana yang relatif terbatas. Setiap bulan komunitas ini mendapat sumbangan Rp 2 juta dari donatur dan lebih dari 50 persen di antaranya untuk honor para relawan.
Kendati sudah berhasil mendirikan satu komunitas belajar, Nurul masih berkeinginan mendirikan komunitas serupa di berbagai desa di kawasan lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Dengan itu, dia berharap tidak ada lagi anak usia sekolah yang terpaksa putus sekolah karena terkendala ketiadaan biaya.
”Putus sekolah karena kita tidak punya biaya itu sungguh menyakitkan hati,” ucapnya serius.
Sumber : Kompas