Dilema PGSD dan Guru Senior
May 22, 2006
KELUHAN alumni Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang belum menjadi guru SD dan atau mahasiswa PGSD, pantas diperhatikan karena memang memprihatinkan. UU tentang Guru dan Dosen (UU GdD) yang diundangkan 30 Desember 2005, tidak memungkinkan mereka menjadi guru. Begitu juga nasib alumni dan mahasiswa program diploma di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) lainnya.
UU GdD meamarkan: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (p8). Selanjutkan UU GdD memantapkan: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui program pendidikan sarjana atau program diploma empat (p9).
Dengan demikian, jelas sejelasnya, program PGSD dan berbagai diploma –kecuali diploma IV– di seluruh tanah air kehilangan relevansinya. Untunglah UU GdD tidak beramar melikuidasi guru-guru non-sarjana dan non-Akta IV. Bagi mereka ini sudah terbentang lapangan pacu untuk memenuhi persyaratan menjadi guru. Padahal dari sekitar 2,7 guru Indonesia tidak separohnya yang memenuhi persyaratan tersebut.
Dapat dipastikan, pemerinrah c.q Depdiknas akan sibuk ‘menjadikan’ guru-guru tersebut menjadi sarjana atau penyandang diploma IV. Secara berkelakar seorang teman nyelutuk, ini proyek besar dan berkepanjangan. Tambahnya pula, Berbahagialah para pelibat proyek.
Yang penting, harus diingat, itulah harga yang ‘harus dibayar’ demi meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, guru-guru memang harus berkualifikasi standar, gajinya harus layak, sarana dan prasarana bukan sekadarnya, pendidikan harus pula disadari memerlukan biaya besar.
Program Diploma
Pemberlakuan UU GdD setidaknya menggambarkan dua hal besar yang tidak diperhatikan secara mendalam. Pertama, nasib ribuan peserta didik dan alumni PGSD dan program pendidikan diploma lainnya dimana kalau mereka mau menjadi guru wajib memenuhi persyaratan. Artinya, harus melanjutkan ke jenjang sarjana.
Karena tuntutan UU demikian, tidak boleh tidak, para alumni dan mahasiswa program diploma, harus melanjutkan ke jenjang sarjana. Diploma yang didapat kini menjadi ‘macam kertas’ yang harus disempurnakan dulu menjadi ijazah sarjana, kalau memang hendak menjadi guru. Bersiap-siaplah memperpanjang masa studi dan atau sekolah lagi plus mempersiapkan biayanya sembari berdoa, mudah-mudahan pemerintah bermurah hati.
Tanda-tanda ke arah itu sudah ada. Perjuangan para pejuang pendidikan agar UU tentang Sistim Pendidikan Nasional dimana pemerintah diamarkan mealokasikan minimal 20% dalam APBN dan APBD kini harus dipatuhi pemerintah. MK telah memutuskan pemerintah harus memenuhi kuota tersebut. Artinya, melalui ABT 2006 pemerintah harus melaksanakannya. Ini pertanda baik bagi pendidikan ke depan.
Kembali ke dilemma alumni dan mahasiswa program diploma pendidikan, hendaknya didukung (didesak?) agar LPTK menyiapkan program pendidikan guru strata sarjana 1. Seingat saya, lima tahun lalu beberapa orang dosen telah mengambil program pascasarjana (S2) PGSD agar PGSD setaraf dengan strata sarjana 1. Tinggal kejelian pemegang program untuk memperjuangkannya.
Hal seirama juga harus diperjuangkan mahasiswa yang kini tengah mengikuti program pendidikan diploma, apa pun program studinya. Adakan pertemuan, diskusi, seminar untuk mencari sosuli agar bisa melanjutkan ke program sarjana. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan, apa-apa yang dijalani selama ini akan berujung kesia-siaan dalam arti tidak mungkin menjadi guru.
Dengan kata lain, lebih baik berjuang menyiapkan payung sebelum hujan tiba. Wong, yang punya payung pun masih bisa basah kuyup kalau ketika hujan datang payungnya tidak bisa digunakan. Maksud pemerintah menaikkan kualifikasi guru itu pasti bagus, tetapi agar kebagusan tidak merugikan, jangan hanya sekedar menjalani program tetapi bagaimana agar program itu tepat sasar.
Guru Berpengalaman
Kedua, proyek-proyek ‘penyetaraan’ akan menjadi gawean besar sepuluh tahun ke depan. Ini bukan pekerjaan mudah dan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit walaupun akan sangat mengembirakan bagi pelibat program peningkatan kualifikasi.
Jujur saja, tidak mau (sanggup) menghitung berapa besar dana yang diperlukan untuk proyek tersebut. Dalam angan saya, kalau dana itu disalurkan langsung untuk kesejahteraan guru, sungguh sangat berarti. Memang kita bisa berdebat sampai dunia kiamat, gaji guru yang memadai belum tentu meningkatkan kinerja guru, meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, bukankah gaji guru yang layak yang belum pernah diberlakukan di republik ini? Ada saja alasan bilamana niat baik untuk menaikkan gaji guru. Kini para perancang pendidikan merangkumnya dalam UU GdD.
Untung saja guru-guru kita sangat ‘santun’ hingga apa-apa yang diputuskan untuk dunia keprofesionalan diterima begitu saja. Guru-guru kita selalu menerima apa yang dikenakan kepada mereka. Bersyukurlah Indonesia punya guru-guru yang sangat loyal.
Tetapi, Saudara. Coba Sampeyan pikir, apakah guru-guru yang telah mengajar 10, 20, dan 30 tahun, guru-guru senior yang belum sarjana, masih harus dikenai hal-hal sedemikian. Bukankah, kita-kita ini produk guru-guru yang sudah menjadi pengajar puluhan tahun tersebut. Begitu pentingnyakah sebuah capaian pendidikan? Bukankah pekerjaan guru yang puluhan tahun itu adalah ‘pendidikan guru’ sesungguhnya? Bukankah, the experience the best teacher. Bukankah, pengalaman mengajar guru itu adalah guru terbaik sesunguhnya.
Lagi pula, bukankah guru yang ‘tua-tua’, yang hampir pensiun, seharusnya diberi penghargaan, bukannya disuruh sekolah lagi agar memenuhi kualifikasi? Kalaupun mereka mampu, sudah menunggu pula kewajiban sertifikasi. Betapa beratnya beban yang disandangkan pada guru-guru. Apakah semakin tua seseorang semakin mudah menerima bahan ajar?
Dalam dunia bisnis, misalnya, banyak ‘orang sekolahan’ bekerja dengan yang secara formal berpendidikan rendah. Kenapa? Karena ‘orang sekolahan’ menguasai teori sementara pebisnis tangguh punya kreativitas dan pengalaman. Guru, kenapa tidak? Kalau untuk guru baru, guru-guru yang masih muda, ya bisa dipahami karena memang begitu seharusnya. Tapi, tidak ada salahnya memberi penghargaan kepada guru-guru yang telah berjasa mencerdaskan bangsa ini sekalipun bukan sarjana.
Jadi, kalau mau menghargai guru yang telah puluhan tahun mengajar, ekuivalenkan pengalaman mengajar dengan capaian kualifikasi. Toh kalau Beliau-Beliau diberikan tunjangan fungsional, profesional, atau apalah namanya, berarti semacam penghargaan. Paling beberapa tahun menikmati, Beliau-Beliau pensiun. Gurulah yang menjadikan kita-kita pintar; guru-guru SD, SMP, SMA yang tidak sarjana itu.
Sekalipun demikian, saya tidak sependapat juga kalau kita melanggar UU. UU harus dipatuhi secara konsekuen kalau memang kita mau menjadi bangsa yang baik dan maju.
KELUHAN alumni Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang belum menjadi guru SD dan atau mahasiswa PGSD, pantas diperhatikan karena memang memprihatinkan. UU tentang Guru dan Dosen (UU GdD) yang diundangkan 30 Desember 2005, tidak memungkinkan mereka menjadi guru. Begitu juga nasib alumni dan mahasiswa program diploma di lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) lainnya.
UU GdD meamarkan: Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (p8). Selanjutkan UU GdD memantapkan: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui program pendidikan sarjana atau program diploma empat (p9).
Dengan demikian, jelas sejelasnya, program PGSD dan berbagai diploma –kecuali diploma IV– di seluruh tanah air kehilangan relevansinya. Untunglah UU GdD tidak beramar melikuidasi guru-guru non-sarjana dan non-Akta IV. Bagi mereka ini sudah terbentang lapangan pacu untuk memenuhi persyaratan menjadi guru. Padahal dari sekitar 2,7 guru Indonesia tidak separohnya yang memenuhi persyaratan tersebut.
Dapat dipastikan, pemerinrah c.q Depdiknas akan sibuk ‘menjadikan’ guru-guru tersebut menjadi sarjana atau penyandang diploma IV. Secara berkelakar seorang teman nyelutuk, ini proyek besar dan berkepanjangan. Tambahnya pula, Berbahagialah para pelibat proyek.
Yang penting, harus diingat, itulah harga yang ‘harus dibayar’ demi meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, guru-guru memang harus berkualifikasi standar, gajinya harus layak, sarana dan prasarana bukan sekadarnya, pendidikan harus pula disadari memerlukan biaya besar.
Program Diploma
Pemberlakuan UU GdD setidaknya menggambarkan dua hal besar yang tidak diperhatikan secara mendalam. Pertama, nasib ribuan peserta didik dan alumni PGSD dan program pendidikan diploma lainnya dimana kalau mereka mau menjadi guru wajib memenuhi persyaratan. Artinya, harus melanjutkan ke jenjang sarjana.
Karena tuntutan UU demikian, tidak boleh tidak, para alumni dan mahasiswa program diploma, harus melanjutkan ke jenjang sarjana. Diploma yang didapat kini menjadi ‘macam kertas’ yang harus disempurnakan dulu menjadi ijazah sarjana, kalau memang hendak menjadi guru. Bersiap-siaplah memperpanjang masa studi dan atau sekolah lagi plus mempersiapkan biayanya sembari berdoa, mudah-mudahan pemerintah bermurah hati.
Tanda-tanda ke arah itu sudah ada. Perjuangan para pejuang pendidikan agar UU tentang Sistim Pendidikan Nasional dimana pemerintah diamarkan mealokasikan minimal 20% dalam APBN dan APBD kini harus dipatuhi pemerintah. MK telah memutuskan pemerintah harus memenuhi kuota tersebut. Artinya, melalui ABT 2006 pemerintah harus melaksanakannya. Ini pertanda baik bagi pendidikan ke depan.
Kembali ke dilemma alumni dan mahasiswa program diploma pendidikan, hendaknya didukung (didesak?) agar LPTK menyiapkan program pendidikan guru strata sarjana 1. Seingat saya, lima tahun lalu beberapa orang dosen telah mengambil program pascasarjana (S2) PGSD agar PGSD setaraf dengan strata sarjana 1. Tinggal kejelian pemegang program untuk memperjuangkannya.
Hal seirama juga harus diperjuangkan mahasiswa yang kini tengah mengikuti program pendidikan diploma, apa pun program studinya. Adakan pertemuan, diskusi, seminar untuk mencari sosuli agar bisa melanjutkan ke program sarjana. Kalau tidak, sudah dapat dipastikan, apa-apa yang dijalani selama ini akan berujung kesia-siaan dalam arti tidak mungkin menjadi guru.
Dengan kata lain, lebih baik berjuang menyiapkan payung sebelum hujan tiba. Wong, yang punya payung pun masih bisa basah kuyup kalau ketika hujan datang payungnya tidak bisa digunakan. Maksud pemerintah menaikkan kualifikasi guru itu pasti bagus, tetapi agar kebagusan tidak merugikan, jangan hanya sekedar menjalani program tetapi bagaimana agar program itu tepat sasar.
Guru Berpengalaman
Kedua, proyek-proyek ‘penyetaraan’ akan menjadi gawean besar sepuluh tahun ke depan. Ini bukan pekerjaan mudah dan pasti memerlukan dana yang tidak sedikit walaupun akan sangat mengembirakan bagi pelibat program peningkatan kualifikasi.
Jujur saja, tidak mau (sanggup) menghitung berapa besar dana yang diperlukan untuk proyek tersebut. Dalam angan saya, kalau dana itu disalurkan langsung untuk kesejahteraan guru, sungguh sangat berarti. Memang kita bisa berdebat sampai dunia kiamat, gaji guru yang memadai belum tentu meningkatkan kinerja guru, meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, bukankah gaji guru yang layak yang belum pernah diberlakukan di republik ini? Ada saja alasan bilamana niat baik untuk menaikkan gaji guru. Kini para perancang pendidikan merangkumnya dalam UU GdD.
Untung saja guru-guru kita sangat ‘santun’ hingga apa-apa yang diputuskan untuk dunia keprofesionalan diterima begitu saja. Guru-guru kita selalu menerima apa yang dikenakan kepada mereka. Bersyukurlah Indonesia punya guru-guru yang sangat loyal.
Tetapi, Saudara. Coba Sampeyan pikir, apakah guru-guru yang telah mengajar 10, 20, dan 30 tahun, guru-guru senior yang belum sarjana, masih harus dikenai hal-hal sedemikian. Bukankah, kita-kita ini produk guru-guru yang sudah menjadi pengajar puluhan tahun tersebut. Begitu pentingnyakah sebuah capaian pendidikan? Bukankah pekerjaan guru yang puluhan tahun itu adalah ‘pendidikan guru’ sesungguhnya? Bukankah, the experience the best teacher. Bukankah, pengalaman mengajar guru itu adalah guru terbaik sesunguhnya.
Lagi pula, bukankah guru yang ‘tua-tua’, yang hampir pensiun, seharusnya diberi penghargaan, bukannya disuruh sekolah lagi agar memenuhi kualifikasi? Kalaupun mereka mampu, sudah menunggu pula kewajiban sertifikasi. Betapa beratnya beban yang disandangkan pada guru-guru. Apakah semakin tua seseorang semakin mudah menerima bahan ajar?
Dalam dunia bisnis, misalnya, banyak ‘orang sekolahan’ bekerja dengan yang secara formal berpendidikan rendah. Kenapa? Karena ‘orang sekolahan’ menguasai teori sementara pebisnis tangguh punya kreativitas dan pengalaman. Guru, kenapa tidak? Kalau untuk guru baru, guru-guru yang masih muda, ya bisa dipahami karena memang begitu seharusnya. Tapi, tidak ada salahnya memberi penghargaan kepada guru-guru yang telah berjasa mencerdaskan bangsa ini sekalipun bukan sarjana.
Jadi, kalau mau menghargai guru yang telah puluhan tahun mengajar, ekuivalenkan pengalaman mengajar dengan capaian kualifikasi. Toh kalau Beliau-Beliau diberikan tunjangan fungsional, profesional, atau apalah namanya, berarti semacam penghargaan. Paling beberapa tahun menikmati, Beliau-Beliau pensiun. Gurulah yang menjadikan kita-kita pintar; guru-guru SD, SMP, SMA yang tidak sarjana itu.
Sekalipun demikian, saya tidak sependapat juga kalau kita melanggar UU. UU harus dipatuhi secara konsekuen kalau memang kita mau menjadi bangsa yang baik dan maju.