Cerpen : The Lost of New Year
Sebuah malam yang membiaskan satu rasa kaku, puitis, dan pilu. Mendayu bagaikan alunan sebait sajak cinta dalam laksah senja hari. Seakan tengah mengisyaratkan sebuah makna kehidupan pada setiap detik yang dilewatinya. Tentang kebahagiaan, cinta, harapan, dan kesedihan. Dalam mata rantai kehidupan yang kian menjelma menjadi satu misteri. Sebuah malam yang hening dan merindukan.
Bintang tampak ramah bercengkrama dengan jutaan cahayanya. Sementara udara yang dingin, perlahan menuaikan satu elegi yang sulit diterjemahkan.
Malam ini, mungkin di luar sana banyak manusia tengah ramai untuk merayakan apa yang namanya Old and New Party di malam tahun baru 2009, berpesta dan berdansa dalam simfoni kebahagiaan, bersama orang-orang yang telah ternobatkan sebagai yang dicintainya.
Akan tetapi lain halnya dengan Reindra. Di malam saat orang-orang sedang berbahagia kini, dirinya malah memilih untuk menyendiri di atas balkon rumah kontrakan kecil tempat kesehariannya tinggal dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa di kota Bandung. Entah apa alasannya hingga dia memilih untuk duduk sendirian di sana, daripada harus pergi merayakan pesta kembang api bersama teman-temannya di luar sana.
Malam itu, sendirian dia duduk termenung, memandang luasnya hamparan langit hitam, yang indah dihiasi oleh taburan cahaya bintang. Sesekali hembusan angin dari Gunung Tangkuban Perahu, tampak mesra menyapu belaian wajahnya yang gelisah.
"Ternyata kamu masih sempat menghitung bintang-bintang itu..." Sapa seorang gadis yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Perlahan dirinya melangkah mendekati Reindra yang masih duduk terpaku. Sungging senyum merekah dari bibir tipis gadis itu, yang sedikit basah dan sesekali tampak bersinar manakala pancaran purnama menerpanya.
"Akhirnya kamu datang juga, Cha..." Ucap Reindra dengan wajah berseri.
"Aku tidak mungkin membiarkan kamu sendirian..."
Echa perlahan duduk di samping Reindra.
"Sudah sampai angka seratus belum? " Tanya Echa kembali seraya turut memandangkan wajahnya ke arah bintang-bintang yang berkelip manja memainkan pesona cahaya dengan seribu warna itu.
"Seratus apanya?"
"Jumlah bintang yang kamu hitung itu." Jawab Echa.
Reindra tersenyum kecil seraya memandang wajah gadis yang sangat dicintainya itu.
"Setiap ada bintang, aku selalu berhasil menghitungnya sampai angka seratus. Bahkan lebih..." Ucapnya seraya kembali mengarahkan pandangan ke atas langit yang bisu itu.
"Kamu nggak keluar buat ngerayain pesta kembang api, Rei? " Tanya Echa seraya menyandarkan kepalanya di bahu kanan Reindra. Sementara jemarinya yang lentik namun terasa begitu dingin, tampak erat dalam genggaman tangan Reindra.
"Kenapa harus keluar..?! Di sini juga aku bisa merayakannya. Lagipula, orang yang aku tunggu untuk merayakan Old and New ini, sekarang sudah ada di sini kan..?! " Jawab Reindra diiringi senyuman kecil yang terkemas dari serpihan cinta yang tertuang mesra melalui genggaman erat tangannya.
Tiba-tiba dari arah tengah kota tampak beberapa buah api berwarna hijau meluncur laksana rudal-rudal perang yang tengah dihempaskan kemudian disusul oleh gemuruh suara-suara ledakan yang dibauri oleh panorama percikan api yang indah seperti bunga-bunga yang mekar di atas langit yang gelap namun bercahaya itu.
Beberapa detik kemudian suasana tampak samakin riuh oleh letusan-letusan kembang api lainnya yang warnanya lebih dari satu. Sehingga malam itu langit tampak indah lebih indah dari hanya sekedar hiasan bintang yang sedari tadi membisu menatap mereka berdua.
"Lima tahun yang lalu...." Ucap Echa seraya menatap kemeriahan warna kembang api di atas langit kota Bandung yang jelas terlihat dari tempat mereka duduk itu.
"Ada apa dengan lima tahun yang lalu itu?" Tanya Reindra.
"Ya, lima tahun yang lalu kita pernah mengalami hal seperti ini kan Rei... Duduk berdua menatap keindahan kembang api Tahun Baru, saat itu kamu membawakan aku kembang api, tapi sayang, gak bisa dinyalakan karena basah." Echa sedikit mengenang masa lalunya yang indah bersama Reindra.
"Aku suka banget sama kembang api...." Ucapnya lagi seraya kembali menggenggam erat tangan Reindra.
"Ya, memang, dan itu adalah satu minggu sebelum aku kehilangan kamu" Ucap Reindra diiringi titik air yang mulai nampak di sudut kelopak matanya.
"Dan itu adalah malam tahun baru terakhir kalinya untuk kita berdua..." Kata Echa seraya tersenyum pilu.
Kemudian perlahan Echa mengusap tetsan air mata yang mulai jatuh satu demi satu dari mata lelaki yang dikasihinya itu.
Di malam itu, Echa tampak cantik sekali. Dengan gaun putih yang melekat di tubuh anggunnya. Gaun indah yang sedianya hendak diberikan Reindra sebagai kado Valeintine untuk Echa, lima tahun yang lalu. Hanya saja harapan itu tidak terlaksana. Gaun itu sebenarnya telah Reindra bakar, akan tetapi entah kenapa malam itu Echa datang dengan persis memakai Gaun hilang itu. Wajahnya terlihat cantik, kulitnya yang putih, sedikit membiaskan temaram lampu kota yang remang menyinarinya. Sementara rambut hitamnya sesekali tergerai oleh sapuan angin yang berdesir lembut kepadanya. Harum tubuhnya menyibak bunga seroja di tepi telaga jernih.
Seuntai kalung perak berbentuk setngah hati tampak indah menghiasi jenjang lehernya yang putih. Dan sesekali mengeluarkan kilatan sinar manakala sorotan cahaya-cahaya kembang api di langit sana menerpanya.
"Aku ingin kamu menepati janji itu, Rei" Ucap Echa sedikit parau.
Reindra terdiam. Genangan air perlahan mulai menampakkan diri di sela-sela kelopak mata yang berkaca-kaca itu. Bak mutiara yang bersinar dikala bias purnama berada di dalamnya. Dadanya kembali sesak, hatinya luluh lantah.
"Kamu itu lelaki Rei, gak boleh nangis..." Ucapnya lagi seraya tangannya terus mengusapi deraian air mata yang terus turun membasahi pipi Reindra.
"Mungkin ini malam terakhir aku bisa menemuimu. Dan jika ada suatu malam di mana kamu mengharapkan aku datang lagi, maka aku mohon dengan sangat, buang jauh-jauh harapan itu. Sudah saatnya kamu berjalan sendiri, Rei..." Ucapnya lagi dengan nada penuh intonasi ketidakberdayaan dari seorang gadis yang lemah.
"Bintang itu akan selalu aku hitung..." Ucap Reindra ketir.
"Untuk kamu..." Tambahnya lagi seraya mengeluarkan segenap kekuatannya untuk menahan isak tangis yang dalam.
"Dan kembang api itu akan terus aku nyalakan untuk kamu...."
Echa perlahan tersenyum bahagia. Sorot matanya tajam memandang wajah pria yang begitu dicintainya itu.
"Izinkan aku pergi, Rei..." Ucap Echa sedikit sayu, seraya mempererat genggamannya di tangan kekasihnya itu.
Sementara titik air mata mulai menampakkan diri. Laksana butiran mutiara yang berbinar manakala sinar bulan membias meresap secara perlahan.
Malam menjadi semakin hening. Riuhnya letusan kembang api yang sebelumnya menggema di atas langit kota Bandung itu perlahan mulai menghilang. Bintang seakan tak lagi mau berdansa menampakkan keceriaannya seperti tadi. Dingin yang sempat hilang, kini kembali menyeok-nyeok bagaikan ribuan belati tajam yang mencabik-canik lapisan kulit Reindra. Hatinya bergetar keras, melawan rakusnya kebimbangan yang kini menelan bulat seluruh memori dalam otaknya. Antara sesal dan harapan. Antara tangis dan do'a. Antara hasrat dan ketakutan. Antara Tuhan beserta ketiadaan-Nya. Antara sayang dan kehilangan. Antara gelisah dan belas kasih. Antara kekuatan dan kelemahan. Dan semua jenis kata yang mengikhtiarkan ketidakadilan.
Mereka terlelap dalam lautan kasih yang tanpa ujung. Dan hilang dalam harapan yang semu. Bersama duka di masa silam, dan do'a di masa yang akan datang. Berpelukan mesra di bawah dekapan malam, meninabobokan segala kerinduan, menidurkan segala keinginan.
***
Malam kini telah berlalu. Mentari perlahan menunjukan kekuasaannya di belahan langit timur. Hangat kini menyeruak mengisi sela-sela wajah bumi yang lembab. Menyisakan beberapa embun yang masih menetes dari daun ke daun, semua tampak lelah dalam meninggalkan malam.
Sementara di atas balkon sebuah kontrakan mungil di bilangan Setiabudhi, masih tampak tergeletak seorang lelaki, dalam tidurnya yang lelap. Hanyut bersama arus mimpi-mimpi yang selalu dia miliki di setiap malam itu.
Reindra mulai terjaga dari tidurnya, manakala sinar mentari perlahan menerpa wajahnya yang pucat pasi akibat kekejaman angin yang meremas pori-pori kulitnya tadi malam.
Sementara Echa sudah tak lagi nampak berada di sampingnya seperti tadi malam. Hanya harum tubuhnya yang masih lekat terasa menyeruak di seluruh ruang balkon yang dingin itu.
Tanpa sengaja, Reindra menatap ke lantai tempatnya tertidur tadi. Terlihat seuntai kalung perak berbentuk setengah hati tergeletak lembab dan dingin karena tetesan embun yang jahat membelainya semalaman.
Diapun mengambil dan menggenggamnya, lalu perlahan turun menuju kamarnya dan duduk bersahaja menghadap kepada satu helai photo seorang gadis yang terbingkai indah di dinding kamarnya itu.
"Selamat tinggal, Cha..." Ucapnya dalam hati seraya meletakan kalung perak setengah hati itu di samping photo hitam putih yang nampak telah kusam dengan warna yang kian menguning.
Kemudian dia menyalakan sebatang lilin merah yang berada tepat di depan photo usang yang telah terkalungkan seuntai bunga melati itu. Di mana di bagian sudut kanan bawahnya telah tertulis sebuah tulisan :
10 Januari 2004
Selamat Jalan
Resha I. Natasya
_________________________________
Penulis : D'. Heriadi 'Ubul'
www.ubulisme.co.tv
Bintang tampak ramah bercengkrama dengan jutaan cahayanya. Sementara udara yang dingin, perlahan menuaikan satu elegi yang sulit diterjemahkan.
Malam ini, mungkin di luar sana banyak manusia tengah ramai untuk merayakan apa yang namanya Old and New Party di malam tahun baru 2009, berpesta dan berdansa dalam simfoni kebahagiaan, bersama orang-orang yang telah ternobatkan sebagai yang dicintainya.
Akan tetapi lain halnya dengan Reindra. Di malam saat orang-orang sedang berbahagia kini, dirinya malah memilih untuk menyendiri di atas balkon rumah kontrakan kecil tempat kesehariannya tinggal dalam menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa di kota Bandung. Entah apa alasannya hingga dia memilih untuk duduk sendirian di sana, daripada harus pergi merayakan pesta kembang api bersama teman-temannya di luar sana.
Malam itu, sendirian dia duduk termenung, memandang luasnya hamparan langit hitam, yang indah dihiasi oleh taburan cahaya bintang. Sesekali hembusan angin dari Gunung Tangkuban Perahu, tampak mesra menyapu belaian wajahnya yang gelisah.
"Ternyata kamu masih sempat menghitung bintang-bintang itu..." Sapa seorang gadis yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Perlahan dirinya melangkah mendekati Reindra yang masih duduk terpaku. Sungging senyum merekah dari bibir tipis gadis itu, yang sedikit basah dan sesekali tampak bersinar manakala pancaran purnama menerpanya.
"Akhirnya kamu datang juga, Cha..." Ucap Reindra dengan wajah berseri.
"Aku tidak mungkin membiarkan kamu sendirian..."
Echa perlahan duduk di samping Reindra.
"Sudah sampai angka seratus belum? " Tanya Echa kembali seraya turut memandangkan wajahnya ke arah bintang-bintang yang berkelip manja memainkan pesona cahaya dengan seribu warna itu.
"Seratus apanya?"
"Jumlah bintang yang kamu hitung itu." Jawab Echa.
Reindra tersenyum kecil seraya memandang wajah gadis yang sangat dicintainya itu.
"Setiap ada bintang, aku selalu berhasil menghitungnya sampai angka seratus. Bahkan lebih..." Ucapnya seraya kembali mengarahkan pandangan ke atas langit yang bisu itu.
"Kamu nggak keluar buat ngerayain pesta kembang api, Rei? " Tanya Echa seraya menyandarkan kepalanya di bahu kanan Reindra. Sementara jemarinya yang lentik namun terasa begitu dingin, tampak erat dalam genggaman tangan Reindra.
"Kenapa harus keluar..?! Di sini juga aku bisa merayakannya. Lagipula, orang yang aku tunggu untuk merayakan Old and New ini, sekarang sudah ada di sini kan..?! " Jawab Reindra diiringi senyuman kecil yang terkemas dari serpihan cinta yang tertuang mesra melalui genggaman erat tangannya.
Tiba-tiba dari arah tengah kota tampak beberapa buah api berwarna hijau meluncur laksana rudal-rudal perang yang tengah dihempaskan kemudian disusul oleh gemuruh suara-suara ledakan yang dibauri oleh panorama percikan api yang indah seperti bunga-bunga yang mekar di atas langit yang gelap namun bercahaya itu.
Beberapa detik kemudian suasana tampak samakin riuh oleh letusan-letusan kembang api lainnya yang warnanya lebih dari satu. Sehingga malam itu langit tampak indah lebih indah dari hanya sekedar hiasan bintang yang sedari tadi membisu menatap mereka berdua.
"Lima tahun yang lalu...." Ucap Echa seraya menatap kemeriahan warna kembang api di atas langit kota Bandung yang jelas terlihat dari tempat mereka duduk itu.
"Ada apa dengan lima tahun yang lalu itu?" Tanya Reindra.
"Ya, lima tahun yang lalu kita pernah mengalami hal seperti ini kan Rei... Duduk berdua menatap keindahan kembang api Tahun Baru, saat itu kamu membawakan aku kembang api, tapi sayang, gak bisa dinyalakan karena basah." Echa sedikit mengenang masa lalunya yang indah bersama Reindra.
"Aku suka banget sama kembang api...." Ucapnya lagi seraya kembali menggenggam erat tangan Reindra.
"Ya, memang, dan itu adalah satu minggu sebelum aku kehilangan kamu" Ucap Reindra diiringi titik air yang mulai nampak di sudut kelopak matanya.
"Dan itu adalah malam tahun baru terakhir kalinya untuk kita berdua..." Kata Echa seraya tersenyum pilu.
Kemudian perlahan Echa mengusap tetsan air mata yang mulai jatuh satu demi satu dari mata lelaki yang dikasihinya itu.
Di malam itu, Echa tampak cantik sekali. Dengan gaun putih yang melekat di tubuh anggunnya. Gaun indah yang sedianya hendak diberikan Reindra sebagai kado Valeintine untuk Echa, lima tahun yang lalu. Hanya saja harapan itu tidak terlaksana. Gaun itu sebenarnya telah Reindra bakar, akan tetapi entah kenapa malam itu Echa datang dengan persis memakai Gaun hilang itu. Wajahnya terlihat cantik, kulitnya yang putih, sedikit membiaskan temaram lampu kota yang remang menyinarinya. Sementara rambut hitamnya sesekali tergerai oleh sapuan angin yang berdesir lembut kepadanya. Harum tubuhnya menyibak bunga seroja di tepi telaga jernih.
Seuntai kalung perak berbentuk setngah hati tampak indah menghiasi jenjang lehernya yang putih. Dan sesekali mengeluarkan kilatan sinar manakala sorotan cahaya-cahaya kembang api di langit sana menerpanya.
"Aku ingin kamu menepati janji itu, Rei" Ucap Echa sedikit parau.
Reindra terdiam. Genangan air perlahan mulai menampakkan diri di sela-sela kelopak mata yang berkaca-kaca itu. Bak mutiara yang bersinar dikala bias purnama berada di dalamnya. Dadanya kembali sesak, hatinya luluh lantah.
"Kamu itu lelaki Rei, gak boleh nangis..." Ucapnya lagi seraya tangannya terus mengusapi deraian air mata yang terus turun membasahi pipi Reindra.
"Mungkin ini malam terakhir aku bisa menemuimu. Dan jika ada suatu malam di mana kamu mengharapkan aku datang lagi, maka aku mohon dengan sangat, buang jauh-jauh harapan itu. Sudah saatnya kamu berjalan sendiri, Rei..." Ucapnya lagi dengan nada penuh intonasi ketidakberdayaan dari seorang gadis yang lemah.
"Bintang itu akan selalu aku hitung..." Ucap Reindra ketir.
"Untuk kamu..." Tambahnya lagi seraya mengeluarkan segenap kekuatannya untuk menahan isak tangis yang dalam.
"Dan kembang api itu akan terus aku nyalakan untuk kamu...."
Echa perlahan tersenyum bahagia. Sorot matanya tajam memandang wajah pria yang begitu dicintainya itu.
"Izinkan aku pergi, Rei..." Ucap Echa sedikit sayu, seraya mempererat genggamannya di tangan kekasihnya itu.
Sementara titik air mata mulai menampakkan diri. Laksana butiran mutiara yang berbinar manakala sinar bulan membias meresap secara perlahan.
Malam menjadi semakin hening. Riuhnya letusan kembang api yang sebelumnya menggema di atas langit kota Bandung itu perlahan mulai menghilang. Bintang seakan tak lagi mau berdansa menampakkan keceriaannya seperti tadi. Dingin yang sempat hilang, kini kembali menyeok-nyeok bagaikan ribuan belati tajam yang mencabik-canik lapisan kulit Reindra. Hatinya bergetar keras, melawan rakusnya kebimbangan yang kini menelan bulat seluruh memori dalam otaknya. Antara sesal dan harapan. Antara tangis dan do'a. Antara hasrat dan ketakutan. Antara Tuhan beserta ketiadaan-Nya. Antara sayang dan kehilangan. Antara gelisah dan belas kasih. Antara kekuatan dan kelemahan. Dan semua jenis kata yang mengikhtiarkan ketidakadilan.
Mereka terlelap dalam lautan kasih yang tanpa ujung. Dan hilang dalam harapan yang semu. Bersama duka di masa silam, dan do'a di masa yang akan datang. Berpelukan mesra di bawah dekapan malam, meninabobokan segala kerinduan, menidurkan segala keinginan.
***
Malam kini telah berlalu. Mentari perlahan menunjukan kekuasaannya di belahan langit timur. Hangat kini menyeruak mengisi sela-sela wajah bumi yang lembab. Menyisakan beberapa embun yang masih menetes dari daun ke daun, semua tampak lelah dalam meninggalkan malam.
Sementara di atas balkon sebuah kontrakan mungil di bilangan Setiabudhi, masih tampak tergeletak seorang lelaki, dalam tidurnya yang lelap. Hanyut bersama arus mimpi-mimpi yang selalu dia miliki di setiap malam itu.
Reindra mulai terjaga dari tidurnya, manakala sinar mentari perlahan menerpa wajahnya yang pucat pasi akibat kekejaman angin yang meremas pori-pori kulitnya tadi malam.
Sementara Echa sudah tak lagi nampak berada di sampingnya seperti tadi malam. Hanya harum tubuhnya yang masih lekat terasa menyeruak di seluruh ruang balkon yang dingin itu.
Tanpa sengaja, Reindra menatap ke lantai tempatnya tertidur tadi. Terlihat seuntai kalung perak berbentuk setengah hati tergeletak lembab dan dingin karena tetesan embun yang jahat membelainya semalaman.
Diapun mengambil dan menggenggamnya, lalu perlahan turun menuju kamarnya dan duduk bersahaja menghadap kepada satu helai photo seorang gadis yang terbingkai indah di dinding kamarnya itu.
"Selamat tinggal, Cha..." Ucapnya dalam hati seraya meletakan kalung perak setengah hati itu di samping photo hitam putih yang nampak telah kusam dengan warna yang kian menguning.
Kemudian dia menyalakan sebatang lilin merah yang berada tepat di depan photo usang yang telah terkalungkan seuntai bunga melati itu. Di mana di bagian sudut kanan bawahnya telah tertulis sebuah tulisan :
10 Januari 2004
Selamat Jalan
Resha I. Natasya
_________________________________
Penulis : D'. Heriadi 'Ubul'
www.ubulisme.co.tv