Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

KTSP Sebagai Perekat Atau Berpotensi Lahirkan Disintegrasi Bangsa?

Tibalah kita pada jantung persoalan, apakah KTSP sebagai perekat atau berpotensi lahirkan disintegrasi bangsa? Dalam suatu kesempatan perkuliahaan DR. C. Asri Budingsih pernah melontarkan pernyataan, "ada wacana yang berkembang, ketika berdiskusi dengan Prof. Amin Rais, beliau berbicara soal KTSP, mungkinkah dapat menjamin integrasi bangsa, ataukah justru sebaliknya dapat menjadi ancaman disintegrasi." Bak "gayung bersambut", penulis merasa senang karena apa yang selama ini menjadi kegelisahaan penulis ada juga dalam pemikiran Prof. Amin Rais dan DR. C. Asri Budingsih. Bagaimana jika ide dalm diskusi kedua tokoh ini terus digulirkan, penulis sangat yakin bahwa ini dapat merubah arah kebijakan Depdiknas.

Memang PR besar bangsa ini adalah bagaimana membentuk nation character dari warganya. Sebab Indonesia merupakan sebuah entitas yang sangat majemuk. Oleh karena itu, perlu memikirkan model pendidikan yang dapat mendukung atau bahkan membentuk nation character. Menurut Ernest Renan sebagaimana dikutip oleh Tilaar (2004:110) bahwa "nation tidak dapat disamakan dengan kesatuan manusia yang didasarkan pada kesaman ras, agama, ataupun letak geografis. Menurut Renan kesatuan solidaritas, kesatuan dari manusia-manusia yang merasa bersetia kawan satu dengan yang lainnya akan membentuk jiwa suatu nation. Inilah azas spiritual dari suatu nation".

Kalau demikian, model pendidikan apakah yang dipandang tepat untuk hal ini? Karena nation menghendaki adanya perasaan solidaritas antar warga yang berlainan latar belakangnya, maka pendidikan multikultural dipandang sebagai model pendidikan yang tepat untuk menjawabnya. Menurut Farida Hanum (2008:3) pendidikan multikultural didefinisikan sebagai, "pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespons perubahan demografis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". Menurut Guy R. Lefrançois (2000:358), Kita membutuhkan pendidikan multikutural oleh karena pendidikanlah dianggap dapat merefleksikan pemahaman dan apresiasi akan perbedaan kultur dan mengakomodasi kebutuhan anak-anak dari latar belakang yang berbeda". Dalam konteks ini pendidikan multikultural ada dan dibutuhkan karena realitas masyarakat yang memang multikultural. Tidak bisa tidak, bahwa model pendidikan multikultural adalah sebuah keharusan dalam merespons realitas dimaksud. Menurut Guy R. Lefrançois (2000:358):
Multicultural education is three things, explan Banks and Banks (1997): First, it's the idea that all children, regardless of their ethnic characteristics, should have an equal opportunity to learn and grow in school; second, it's a reforms movement that is trying to change schools to make this idea a reality; and third, it's the ongoing, never-ending that the reform movement requires."

Merujuk pada pendapat di atas maka dapat dikatakan bawah pendidikan multikultural begitu penting dalam dunia pendidikan, bukan saja karena sekolah sebagai tempat untuk menyemaikan benih pengertian tetapi juga menjadi tempat tumbuhnya benih ketidakpedulian antar sesama anak dari latar belakang yang berbeda.
Bakns and Banks (1997) dalam Lefrançois (2000:362) menyatakan begitu pentingnya tujuan pendidikan multikultural, "One of it's major, they note, is to reform education system so that all children are treated equally by the school, regardless of their cultural and language background. A second related goal is to rid school systems of unequal treatment of boys and girls."

Tampak bahwa di sekolah sendiri ada praktik ketidakadilan baik dari guru terhadap siswa maupun dari siswa terdapa teman siswa yang lain. Lefrançois (2000:358) menyatakan, "Meeting the these goal, note Banks and Banks, requires major changes not only curriculum and teaching methods, but also in curriculum in teacher and administrators' attitudes." Dibutuhkan perubahan secara mendasar tidak saja menyangkut kurikulum dan metode pembelajaran tetapi juga dalam hal perilaku guru dan tenaga adminsitrasi.

Dalam pada itu menurut Hanum yang mengutip pendapat Tilaar, Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat kultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategis pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif menurut Hanum, maka kurikulum pendidikan multikultural mestinyalah mencakup subjek-subjek seperti; toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama.

Menurut penulis, implementasi pendidikan multikultural dalam KTSP dapat didekati dari dua pendekatan, pertama, pendekatan instruksional atau formal, yaitu dengan mengintegrasikan subjek-subjek, seperti tema-tema menyangkut keanekaragaman sosial- budaya, toleransi ke dalam materi, pemilihan contoh-contoh, studi kasus, dan bahasa. kedua, pendekatan informal, yaitu melalui sikap dan perilaku warga sekolah, harus dijauhkan sikap dan perilaku guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya yang hanya menonjolkan kelompok tertentu dan mengabaikan kelompok lainnya.

Dengan demikian diharapkan KTSP yang sudah sedang diimplementasikan di sekolah-sekolah memiliki nilai kontributif bagi pembentukan nation character, sebagai entitas dan identitas Indonesia yang sangat majemuk.