Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Polemik Pelajaran Bahasa Inggris di Kurikulum SD

Polemik Pelajaran Bahasa Inggris di Kurikulum SD. Kekhawatiran akan membebani siswa, prioritas terhadap penguasaan Bahasa Indonesia.

Wacana penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris di kurikulum Sekolah Dasar yang disampaikan dua pekan lalu oleh (Wamendikbud) bidang Pendidikan, Musliar Kasim dilandasi oleh dua alasan: kekhawatiran akan membebani siswa dan kekhawatiran bahwa siswa-siswa Sekolah Dasar tidak fokus dalam mempelajari bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Wacana ini telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Di badan legislatif, anggota Komisi X DPR, Rohmani mengemukakan "Hal tersebut sebuah kebijakan yang tepat agar fokus pada pembudayaan Bahasa Indonesia sejak sekolah dasar (SD)" (Republika Online, 17/10/2012). Lebih lanjut, dia menyatakan “perubahan tersebut” (penghapusan pelajaran bahasa Inggris) menjadi hal yang positif untuk menanamkan rasa nasionalisme. Di sisi lain, widyaswara Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP)Prov. Kep. Bangka Belitung, Ali Ansori menuliskan kekhawatirannya bahwa kemunculan kebijakan yang baru tersebut, merupakan pengabaian dari banyaknya manfaat yang diperoleh dari pengajaran bahasa Inggris di kurikulum SD. Lebih lanjut dia menyebutkan bahwa penguasaan bahasa Inggris akan sangat terlambat jika bahasa Inggris diperkenalkan di SMP” (SekolahDasar.Net, 21/10/2012). Tepatkah keputusan pemerintah untuk menghapuskan mata pelajaran bahasa Inggris di kurikulum SD?

Artikel ini akan membahas beberapa pertanyaan mendasar yang melatarbelakangi polemik dalam pengajaran bahasa Inggris untuk siswa-siswa SD di Indonesia yang termasuk ke dalam lingkaran penutur bahasa Inggris dalam konteks English as a Foreign Language/ EFL (bahasa Inggris sebagai bahasa asing),seperti: 1)Pada usia berapa dan bagaimana bahasa Inggris sebaiknya diajarkan sehingga tidak membebani anak-anak secara kognitif? 2) Apakah pelajaran bahasa Inggris akan berdampak negatif terhadap rasa nasionalisme anak-anak?

Pengajaran bahasa Inggris di Indonesia untuk siswa SD berlandaskan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai pada kelas 4 SD (Depdiknas). Kebijakan ini diambil karena adanya kebutuhan untuk berpartisipasi dalam era globalisasi. Dalam perkembangannya, bahasa Inggris yang awalnya adalah mata pelajaran muatan lokal pilihan menjadi mata pelajaran muatan lokal wajib di beberapa daerah. Lebih lanjut, pelajaran bahasa Inggris yang pada mulanya dimulai pada kelas 4 SD menjadi dimulai pada kelas 1, 2, dan 3.

Menilik konteks EFL pada pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, tentu saja tidak mungkin menyamakannya dengan pengajaran bahasa Inggris di Singapura dimana bahasa Inggris berada dalam konteks ESL (bahasa Inggris sebagai bahasa kedua). Di negara-negara dimana bahasa Inggris diajarkan dalam konteks ESL tersedia lebih banyak material otentik seperti surat kabar, papan-papan iklan, berita TV, tanda-tanda di lalu lintas, program radio dan TV yang menggunakan bahasa Inggris sehingga memudahkan siswa untuk mengakuisisi bahasa kedua. Hal itu tentu berbeda dengan negara-negara dalam konteks EFL seperti Indonesia dimana material otentik lebih banyak tersedia dalam bahasa nasional, bahasa Indonesia. Oleh karena itu, usaha untuk menyamakan kurikulum bahasa Inggris di lingkup ESL dan EFL tentu saja akan memberi beban kognitif kepada siswa. Maka, tidaklah bijak untuk memperbandingkan pencapaian keahlian berbahasa Inggris siswa di negara-negara ESL dengan EFL. Hal inilah yang mungkin melatarbelakang asumsi bahwa bahasa Inggris membebani anak secara kognitif.

Dalam konteks EFL, dimana pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam menegakkan dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama siswa, target pencapaian mata pelajaran bahasa Inggris di level SD dapat disederhanakan hanya untuk keahlian dasar komunikatif sehingga tidak membebani siswa-siswa secara kognitif. Lightbown dan Spada(2011) dalam buku mereka yang berjudul “How Languages are Learned” menyatakan bahwa, anak-anak yang berusia lebih tua (usia sepuluh tahun-an) mampu mencerna pelajaran bahasa asing lebih cepat daripada anak-anak yang memulai di usia lebih awal (contohnya usia enam atau tujuh tahun) dalam mata pelajaran bahasa asing yang hanya beberapa jam dalam seminggu. Walaupun demikian, mereka menambahkan, dibutuhkan waktu intensif untuk terekspos bahasa asing. “Alokasi waktu satu atau dua jam seminggu untuk siswa-siswa usia tujuh dan delapan tahun tidak akan menghasilkan penutur bahasa asing yang fasih”. Lebih lanjut, Cummins, seperti dikutip oleh Baker (2011) dalam bukunya “Foundations of Bilingual Education and Bilingualism” , menyatakan bahwa di Amerika Serikat (dalam hal ini, bahasa Inggris berada dalam lingkup mayoritas digunakan sebagai bahasa pertama), anak-anak dengan latar belakang keluarga yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua memerlukan waktu satu atau dua tahun untuk mengakuisisi bahasa Inggris yang digunakan dalam keahlian dasar komunikatif dalam percakapan sehari-hari (Cummins menggunakan terminologi “Basic Interpersonal Communicative Skill/BICS”). Bahkan, Hakuta, seprrti yang dikutip Baker (2011), dalam risetnya mengenai program pelajaran bahasa Inggris untuk para imigran di California, menemukan bahwa dibutuhkan waktu tiga sampai lima tahun untuk mengembangkan oral proficiency (kemampuan mendengar dan berbicara dalam bahasa Inggris). Temuan-temuan ini menguatkan argumen bahwa siswa-siswa yang berada dalam konteks EFL tentunya memerlukan waktu yang lebih lama untuk akuisisi keahlian dasar komunikatif (BICS) ini karena lebih sedikitnya ekspos terhadap materi otentik dalam bahasa Inggris. Implikasi dari temuan ini adalah kebijakan pemerintah untuk memulai pelajaran bahasa Inggris pada level Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikhawatirkan akan menyebabkan kurangnya alokasi waktu yang dibutuhkan untuk proses akuisisi bahasa Inggris, bahkan untuk kemampuan komunikatif dasar dalam percakapan sehari-hari. Lebih lanjut, perlu dipikirkan dampak tidak adanya bahasa Inggris di kurikulum SD terhadap pengajaran bahasa Inggris di level SMP. Tanpa adanya pengalaman berbahasa Inggris di level sebelumnya, beban kognitif murid-murid SMP dalam mempelajari bahasa Inggris menjadi lebih berat .

Dengan kata lain, penghapusan bahasa Inggris di kurikulum SD adalah langkah yang tidak tepat. Bagaimana mungkin keterampilan siswa dapat mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris “untuk ikut berpartisipasi dalam era komunikasi dan globalisasi, serta untuk transfer ilmu, baik dalam bahasaInggris lisan (ceramah, diskusi, presentasi) atau tertulis (membaca referensi, menulis laporan, dan sebagainya)” (Diknas) apabila keahlian dasar komunikatif (BICS) saja tidak terkuasai?

Kekhawatiran akan pelajaran bahasa Inggris hanya menambah beban kognitif siswa-siswa SD seharusnya disikapi dengan pembenahan metodologi mengajar, sistem penilaian dan penyusunan kurikulum yang disertai telaah psikologi perkembangan bahasa pada anak-anak, bukan menghapuskan bahasa Inggris dari kurikulum.

Kekhawatiran kedua yang menyebabkan wacana penghapusan bahasa Inggris di kurikulum SD adalah karena bahasa Inggris dinilai membuat siswa tidak fokus mempelajari bahasa Indonesia dan berdampak pada rasa nasionalisme. Apabila kurikulum bahasa Indonesia disusun dengan konten yang menarik yang juga mengembangkan keahlian dasar komunikatif siswa (dalam hal ini tidak hanya teori tata bahasa) , tentunya tidak perlu ada kekhawatiran bahwa siswa menjadi tidak fokus terhadap bahasa pertamanya. Lebih lanjut, apabila guru-guru dapat mensosialisasikan kerangka pemikiran yang jelas bahwa peran bahasa Indonesia tidaklah kalah pentingnya dengan bahasa Inggris, maka siswa-siswa dapat mengapresiasi kedua bahasa dengan seimbang dan menggunakan keduanya dengan sama baiknya. Penyelenggara pendidikan sebaiknya membuat kurikulum yang membentuk karakter siswa untuk dapat bersikap dengan adil dan seimbang dalam menghadapi tantangan zaman. Di era ketika teknologi komunikasi telah berkembang sangat pesat, tidak membekali diri dengan kemampuan bahasa asing yang memadai ibarat mengisolasi diri terhadap kemajuan. Sangatlah miris ketika dunia mulai berpikir untuk merombak paradigma tentang pola pikir monolingual, kita kembali mundur ke pola pikir itu dengan alasan nasionalisme.

Kesimpulannya, keputusan pemerintah untuk menghapus pelajaran bahasa Inggris dalam kurikulum SD adalah keputusan yang tidak tepat karena diperlukan eksposur yang intensif dan cukup lama agar siswa-siswa yang mempelajari bahasa Inggris dalam konteks EFL menguasai keahlian dasar komunikatif bahasa Inggris (BICS). Pembelajaran bahasa Inggris dapat dimulai di usia anak-anak awal. Asalkan di desain dengan metodologi dan sistem penilaian yang tepat, pelajaran bahasa Inggris tidak memberi beban berat kepada siswa secara kognitif. Selain itu, arus komunikasi global yang demikian pesat yang berdampak kepada perubahan pola pikir monolingual membuat pernyataan sebagian orang bahwa mempelajari bahasa asing di usia dini berdampak pada rasa nasionalisme perlu dipertanyakan dan dipikirkan ulang.

*) Oleh: Astri Hapsari, S,S., M. TESOL. Instruktur Bahasa Inggris
Artikel dikirim sendiri oleh penulis ke SekolahDasar.net