Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Eksklusivitas Pelajaran Bahasa Inggris

Menciptakan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan.
Menciptakan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan.
Bahasa Inggris termasuk salah satu mata pelajaran yang “eksklusif” dalam pandangan siswa. Eksklusivitas tersebut memiliki pengertian yang positif dan sekaligus juga negatif. Pengertian eksklusivitas yang positif mengacu pada pandangan bahwa penguasaan bahasa Inggris memiliki sebuah prestise tinggi. Orang yang menguasai dan mahir berbahasa Inggris biasanya mendapatkan posisi yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang kurang menguasainya. Sisi positif inilah yang kemudian bisa menjadi pemacu siswa untuk menguasainya. Sedangkan pengertian eksklusivitas negatif terjadi karena adanya pemahaman bahwa bahasa Inggris adalah mata pelajaran yang sulit. Pandangan ini muncul pada umumnya karena siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami kosa kata dan kesulitan untuk menggunakannya sebagai salah satu alat komunikasi.

Kita tidak dapat menafikan bahwa yang terjadi dalam pembelajaran di kelas kita ekslusivitas negative lebih dominan dibandingkan dengan eksklusivitas positifnya. Lebih banyak siswa yang berpandangan bahwa belajar bahasa Inggris itu sulit, karena tidak paham dengan kosakata, sulit karena tidak bisa menjawab soal, sulit karena terlalu banyak formula, atau sulit karena tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.

Kesulitan-kesulitan tersebut tentu tidak dapat sepenuhnya dihindari oleh siswa. Dalam skripsi saya yang berjudul “THE TEACHER’S EFFORTS TO LOWER STUDENTS’ AFFECTIVE FILTER IN THE CLASSROOM IN THE SECOND GRADE OF SMPN 2 YOGYAKARTA” menemukan bahwa bagi siswa yang mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa asing, menguasai bahasa Inggris itu ternyata butuh upaya yang cukup signifikan.

Dalam diri tiap siswa terdapat affective filter (kemampuan untuk menyaring) yang akan berperan dalam menentukan apakah mereka mau menerima kehadiran bahasa asing tersebut dalam dirinya atau tidak. Tingkat affective filter siswa berhubungan dengan kepercayaan diri (self confidence), kemampuan untuk mengambil resiko (risk-taking) dan juga kecemasan (anxiety) yang ada dalam dirinya. Jika siswa tersebut memiliki self confidence yang tinggi, risk-taking yang tinggi dan tingkat anxiety yang rendah, maka tingkat affective filter siswa menjadi rendah. Kondisi inilah yang memungkinkan bagi siswa untuk menerima kehadiran bahasa asing dalam kehidupannya. Namun sebaliknya apabila siswa memiliki self confidence yang rendah, risk-taking yang juga rendah, namun tingkat anxiety-nya cukup tinggi, maka kondisi affective filternya menjadi tinggi. Pada kondisi ini siswa mengalami kesulitan untuk menerima bahasa Inggris.

Peran guru disini adalah menciptakan sebuah kondisi kelas yang dapat menurunkan tingkat affective filter siswa. Tentunya banyak metode dan model pembelajaran yang dapat diaplikasikan untuk mewujudkannya. Beragam metode dan model pembelajaran tersebut tentunya dapat menimbulkan variasi dalam belajar. Namun ternyata siswa tidak hanya membutuhkan metode dan model pembelajaran yang tepat saja, namun juga ada faktor-faktor lain yang ternyata bisa membuat mereka merasa nyaman dengan kondisi pembelajarannya. Berikut ini adalah beberapa point yang saya anggap sangat penting untuk dilakukan oleh para guru, sebagai upaya untuk menurunkan tingkat affective filter siswa :

1. Berikan perhatian yang merata pada semua siswa.
Seringkali guru memusatkan mata dan perhatian ketika mengajar hanya pada sebagian siswa. Biasanya terfokus pada siswa yang aktif dan pintar. Sebenarnya hal ini lumrah terjadi, namun ternyata bila hal tersebut terus menerus dilakukan, dapat menimbulkan kesenjangan dan kecemburuan diantara siswa. Cobalah kita untuk berempati, siswa-siswa yang cenderung diam itu ternyata dalam hatinya memiliki keinginan untuk bisa seperti yang lain. Namun mereka tidak memiliki keberanian untuk mencobanya. Bahkan siswa-siswa yang sering berbuat nakal sekalipun, mereka sebenarnya sangat ingin diperhatikan. Jadi, membagi perhatian secara merata dapat memberikan keyakinan pada semua siswa bahwa keberadaan mereka di kelas tersebut memang diharapkan. Mereka juga akan berkeyakinan bahwa peran mereka itu sama. Disinilah tingkat self confidence siswa dapat meningkat. Kondisi ini akan membantu siswa untuk lebih aktif di kelas, berlomba untuk mendapatkan prestasi terbaik dengan cara yang sehat.

2. Berikan senyum yang tulus pada semua siswa.
Senyum merupakan sedekah yang paling murah dan mudah. Namun terkadang banyak yang menyepelekan makna dari sebuah senyuman. Memberikan senyum yang tulus pada siswa ketika pembelajaran berlangsung, dapat menjadi sebuah reward yang baik untuk mereka. Bahkan senyum yang tulus, dapat pula diberikan pada siswa yang nakal dan sering gaduh di kelas. Senyuman ini dapat bermakna sebuah tanda persahabatan, yang pada akhirnya membuat siswa merasa nyaman dengan keberadaan guru di kelas tersebut. Dengan mendapatkan senyum yang tulus dari guru, siswa dapat menurunkan tingkat anxiety (kecemasan) dalam dirinya.

3. Berikan pujian jika siswa berhasil melakukan sebuah kompetensi tertentu.
Pada dasarnya semua manusia menyukai pujian. Meski kadang sebagian orang mengatakan bahwa mereka tidak suka dipuji. Pujian dapat menjadi sebuah pengakuan atas prestasi yang dilakukan seseorang. Biasanya ketika siswa melakukan sebuah kebaikan, mereka membutuhkan pujian sebagai reward atau pengakuan dari guru. Pada saat mereka mendapatkannya, akan timbul rasa senang dan bangga. Hal tersebut dapat meningkatkan motivasi siswa untuk menyukai mata pelajaran tersebut. Pujian yang diberikan oleh guru dapat meningkatkan risk-taking (kemampuan untuk mengambil resiko) siswa.

4. Bangun chemistry yang tepat dengan siswa.
Adanya chemistry antara guru dengan siswa dapat menciptakan suasana kelas yang menyenangkan bagi semua penghuninya. Chemistry tersebut juga akan sangat berguna sekali untuk mengenal siswa secara lebih dekat. Tentunya guru akan mendapatkan gambaran tentang karakter siswa, kompetensi yang mereka miliki dan permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.

Dengan penggunaan metode dan model pembelajaran yang tepat, dan didukung dengan keempat point diatas maka diharapkan tingkat self confidence siswa dapat meningkat, risk-taking juga meningkat, dan tingkat anxiety dapat diturunkan sehingga pada akhirnya tingkat affective filter siswa juga dapat menurun.

Menurunnya tingkat affective filer siswa akan membantu mereka untuk mengatasi berbagai eksklusivitas negative dari pelajaran bahasa Inggris. Siswa yang pada awalnya sulit untuk mengemukakan ide dan gagasan yang mereka miliki, sulit memahami kosakata dan sulit mempelajari segala hal yang berhubungan dengan pelajaran bahasa Inggris, dapat merubah image tersebut dengan kondisi kelas yang nyaman, kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan guru yang menyenangkan pula. Disinilah hadirnya eksklusivitas positif dari pelajaran bahasa Inggris. Siswa merasa termotivasi untuk menguasai bahasa Inggris karena mereka merasa bahwa penguasaan bahasa Inggris itu penting bagi mereka. Sebuah motivasi intern pun akan terbangun dengan baik jika kondisi diatas dapat diterapkan dengan tepat.

Oleh: Tati Rahmawati
Penulis adalah guru bahasa Inggris di SMPN 1 Cidahu, kabupaten Kuningan Jawa Barat.