Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Pengalaman Masa Lalu Berpengaruh Terhadap Minat Belajar Siswa

Guru profesional tidak pernah lupa bahwa pengalaman masa lalu berpengaruh terhadap minat belajar siswa.
Setiap manusia secara sadar maupun tidak sadar selalu memandang bahwa pengalaman masa lalu yang pernah mereka alami sangat berharga bagi dirinya. Pengalaman tersebut menjadi catatan yang sulit dilupakan di dalam memori otaknya, baik yang terkesan menghasilkan/ menggagalkan, menyenangkan/menyedihkan, menentramkan/menyeramkan, dan sebagainya. Semua pengalaman tersebut bisa berdampak positif maupun negatif.

Bagi seorang anak yang memiliki IQ di atas 100, pengalaman buruk masa lalu bisa jadi pemacu minat untuk belajar lebih intensif dengan menghindari kesalahan yang pernah dilakukan, tetapi bagi anak yang memiliki IQ semakin kurang dari 100 kegagalan dianggap sebagai suatu musibah yang menjadikannya trauma dan selalu terbayang kegagalan yang pernah dialami. Misal, seorang anak yang baru belajar berdiri ternyata ia jatuh dan menyebabkan anggota badannya terasa sakit karena membentur dinding, bisa jadi anak tersebut bangkit lagi setelah rasa sakitnya hilang, atau menjadikannya enggan berlatih berdiri lagi karena apa yang dilakukan dianggap kesalahan yang tidak akan diulang. Maka selaku orang dewasa yang sedang mengasuh anak seperti itu harus berhati-hati dalam menenangkan anak dan berusaha memotivasi mereka agar mau berlatih lagi.

Memasuki usia 2-5 tahun adalah masa perkembangan ingatan yang luar biasa pesatnya. Pengalaman yang bisa berpengaruh terhadap seorang anak tidak hanya pengalaman pribadi saja, tetapi pengalaman orang lain yang pernah dilihat atau didengar juga menjadi catatan memerinya, karena mereka telah mampu berkomunikasi secara verbal, non verbal, maupun kontekstual. Hal ini bisa diamati ketika mereka mendengar cerita/larangan orang tua sering mereka menyampaikan kepada orang lain bahwa cerita/larangan tersebut menjadi sesuatu yang harus dihindari supaya tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, atau mungkin mereka suka menirukan ucapan atau tingkah laku orang atau hewan yang pernah dilihat atau didengarnya. Arno F. Wittig (Psychology of Learning 1981) : Perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam tingkah laku suatu organisme sebagai hasil belajar. Pada usia ini pengasuh anak harus lebih berhati-hati karena mereka mengalami fese imitasi atau fase menentang pertama yang kadang dianggap nakal oleh orang dewasa. Maka segala bimbingan, arahan, nasihat yang diberikan harus benar, jujur, dan memotivasi mereka ke arah kebaikan dan perkembangan mental anak asuhannya.

Saat masuk sekolah dasar pengetahuan siswa sebelumnya dapat membantu atau menghalangi belajar. Siswa datang ke sekolah dengan pengetahuan, keyakinan, dan sikap yang diperoleh dari pola kehidupan lain dalam kehidupan sehari-hari/bermain di TK/PUD. Sebagai siswa mereka membawa pengetahuan tersebut untuk belajar di kelas yang dipola dengan berbagai program kegiatan. James Patrick Chaplin ( Dictionary of Psychology 1985 ): Belajar dibatasi dengan dua macam rumusan. Rumusan pertama belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Rumusan kedua belajar ialah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus. Hal itu mempengaruhi bagaimana mereka dalam menerima dan menginterpretasikan apa yang mereka pelajari. Jika pengetahuan siswa sebelumnya telah kuat dan akurat ketika diaktifkan pada saat yang tepat, mereka menyediakan dasar yang kuat untuk membangun pengetahuan baru, namun ketika pengetahuan tersebut (inert) lamban, tidak cukup untuk melaksanakan tugas, keaktifan tidak tepat, atau tidak akurat, pengalaman tersbut justru mengganggu atau menghambat pembelajaran baru.

Bagaimana siswa mengatur pengaruh pengetahuan? Bagaimana mereka belajar dan menerapkan apa yang mereka ketahui? Siswa secara alami membuat koneksi antar berbagai potongan pengetahuan. Ketika koneksi yang membentuk struktur pengetahuan yang akurat dan bermakna terorganisir, siswa lebih mampu mengambil dan menerapkan pengetahuan mereka secara efektif dan efisien. Sebaliknya, ketika pengetahuan terhubung dengan cara yang tidak akurat atau acak, siswa dapat gagal untuk mengambil atau menerapkannya dengan tepat.

Motivasi belajar siswa menentukan, mengarahkan, dan memelihara apa yang mereka lakukan untuk belajar. Sebagai siswa masuk sekolah dan mereka memperoleh otonomi yang lebih besar atas apa, kapan, dan bagaimana mereka belajar dan terus belajar. Motivasi memainkan peran penting dalam membimbing arah, intensitas, ketekunan, dan kualitas perilaku belajar di mana mereka terlibat. Ketika siswa menemukan nilai positif dalam tujuan pembelajaran atau dalam suatu kegiatan, mereka berharap untuk berhasil mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan dan merasakan dukungan dari lingkungan mereka, maka mereka cenderung merasa sangat termotivasi untuk belajar lebih baik lagi.

Untuk mengembangkan penguasaan materi pelajaran, siswa harus memperoleh keterampilan komponen, praktek mengintegrasikan, dan mereka tahu kapan harus menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Siswa harus mengembangkan diiri, tidak hanya keterampilan komponen dan pengetahuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang kompleks, namun mereka juga harus berlatih menggabungkan dan mengintegrasikan untuk mengem-bangkan kefasihan lebih besar dan (automatically) dengan sendirinya. Pengaruh dari pengalaman tersebut siswa harus belajar kapan dan bagaimana menerapkan keterampilan dan pengetahuan mereka belajar. Menangkap gejala jiwa tersebut seorang guru sebagai pembimbing belajarharus memahami bahwa hal ini menjadi sangat penting ketika mengembangkan kesadaran dari unsur-unsur penguasaan mereka sehingga dapat membantu para siswa bisa belajar lebih efektif.

Praktek yang dapat kita arahkan pada pencapaian tujuan dapat ditambah dengan umpan balik yang ditargetkan meningkatkan kualitas belajar siswa. Belajar dan kinerja terbaik siswa kita pupuk ketika mereka terlibat dalam praktek yang berfokus pada tujuan atau kriteria tertentu, menargetkan tingkat yang tepat dari tantangan, dan kuantitas yang cukup dan frekuensi untuk memenuhi kriteria kinerja. Kegiatan praktek harus dibarengi dengan umpan balik yang secara eksplisit berkomunikasi tentang beberapa aspek dari siswa. Kinerja relatif terhadap kriteria target khusus menyediakan informasi untuk membantu kemajuan siswa dalam memenuhi kriteria tersebut, dan jika diberikan pada waktu dan frekuensi yang memungkinkan maka akan menjadi sangat bermanfaat untuk meningkatkan proses dan hasil belajar.

Peningkatan saat siswa berinteraksi dengan iklim sosial, emosional, dan intelektual sangat mempengaruhi proses dan hasil belajar mereka. Siswa selain makhluk intelektual mereka juga makhluk sosial dan emosional. Mereka masih mengembangkan berbagai keterampilan intelektual, sosial, dan emosional, sementara kita tidak bisa mengendalikan proses perkembangan, melainkan hanya bisa membimbing, mengarahkan, dan melatih. Kita dapat membentuk aspek intelektual, sosial, emosional, dan fisik iklim kelas dengan cara menyesuaikan dengan tahapan perkembangan mereka. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa iklim yang dibuat/dipola/diprogram memiliki implikasi bagi siswa yang belajar. Iklim negatif dapat menghambat pembelajaran dan kinerja, tetapi iklim positif dapat memberikan energi positif belajar siswa. Tugas guru di sini adalah menciptakan iklim yang bisa menghambat energi negatif dan meningkatkan energi positif.

Untuk menjadi pebelajar mandiri, siswa harus belajar untuk memantau dan menyesuaikan pendekatan mereka dalam belajar. Peserta didik dapat terlibat langsung dalam berbagai proses metakognitif untuk memonitor dan mengontrol. Mereka belajar-menilai tugas di tangan, mengevaluasi kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, merencanakan pendekatan mereka, menerapkan dan memantau berbagai strategi, dan merenungkan sejauh mana pendekatan mereka saat ini sebagai upaya peningkatan kinerja. Mungkin hal ini di lingkungan sekolah kita siswa cenderung untuk tidak terlibat dalam proses ini secara alami karena hal itu belu dilatih dan dibiasakan. Ketika siswa mengembangkan keterampilan untuk terlibat proses ini, secara langsung mereka mendapatkan kebiasaan intelektual yang tidak hanya meningkatkan kinerja mereka, tetapi juga efektivitas mereka sebagai peserta didik. Ingat bahwa sebenarnya kehidupan ini adalah kebiasaan (life is habit).


DAFTAR RUJUKAN
• Hidi, S. & Renninger K.A. (2004). Interest, a motivational varmerekable that combines affective and cognitive functioning. In D. Y. Dai & R. J. Sternberg (Eds.), Motivation, emotion, and cognition: Integrative perspectives on intellectual functioning and development (pp. 89-115). Mahwah, NJ: Erlbaum
• Walton, G. M., & Cohen, G. L. (2007). A question of belonging: race, socmerekal fit, and achievement. Journal of Personality and Socmerekal Psychology, 92 (1), 82-96.
• Bahri Djamarah, Syaiful. dan Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.

*) Ditulis oleh WIDODO SANTOSO, S.Pd.M.Pd. Kepala SDN 4 Mangkujayan Kabupaten Ponorogo, Jl. Jawa 45 Ponorogo