Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Anak-Anak Seperti Ini, Tolong Dicetak Sebanyak-Banyaknya

Karakter, etika-moral jauh lebih penting dari prestasi akademik.
Namanya Ika. Trismeyka Anandya Suwardi. Sekarang dia kelas 5 SD. Hari itu pembagian raport kenaikan kelas sekaligus pembagian tabungan. Ika sendiri naik ke kelas 4.

Aksi Ika saat itu membuat saya dan wali kelasnya melongo. Bagaimana bisa anak sekecil Ika bisa berfikir dan berbuat seperti itu?

Tanpa diketahui oleh guru, diam-diam Ika mengkordinir teman-temannya yang menerima tabungan. Meminta mereka menyisihkan tabungan yang diterima untuk diserahkan kepada salah seorang teman kelasnya yang kurang beruntung. Tidak memiliki tabungan. Seorang anak yang kurang terurus, yatim, selalu berpakaian lusuh, jarang membawa belanja ke sekolah. Saat itu saya dan wali kelasnya sangat terharu.

Masih di tahun yang sama. Tapi pada masa libur setelah kenaikan kelas.

Hari itu saya melintas di jalan menuju ke sekolah. Ada urusan di kota kabupaten. Rumah saya sendiri jauh dari sekolah, 60 Km. Sampai di sebuah jembatan, dua orang tampak sedang sibuk membersihkan jalan dari sampah dan tumpukan pasir. Bekas luapan air parit. Yang seperti ini memang biasa di Lombok Utara. Jalan-jalan tertimbun tanah/pasir terutama saat musim hujan. Orang-orang membersihkan jalan menggunakan sekop atau pacul. Kemudian meminta imbalan kepada pengendara yang lewat. Kadang hanya pura-pura bekerja saat pengendara lewat saja. Tumpukan tanahnya sampai beberapa hari ke depanpun tetap begitu-begitu saja.

Tapi ada yang tidak biasa dilakukan dua orang yang saya lihat. Mereka tidak berusaha mencegat pengendara yang lewat. Tidak meminta imbalan apa-apa. Sekedar melirikpun tidak. Mereka fokus bekerja.

Saya lebih surprise lagi ketika mengetahui salah seorang pembersih jalan itu adalah siswa saya sendiri. Ratno. Setelah masuk sekolah, saya cari Ratno di kelasnya. Saya tanya seputar aksinya membersihkan jalan. Ternyata dia membersihkan jalan berdua dengan kakaknya. Alasannya? Tidak ingin ada pengendara yang jatuh. Berhubung jembatan itu lumayan dalam, jalannya pun turunan, tanjakan berliku. Aksi Ratno saya bahas saat semua siswa berkumpul di acara Imtaq. Menjadi contoh.

Selanjutnya seorang siswa berbadan tegap, kekar dan paling besar di kelasnya. Sering berkelahi. Namanya Amat. Suatu hari seorang wali murid menghadap ke kepala sekolah. Menjelaskan bahwa anaknya sudah tiga hari tidak masuk sekolah. Matanya sakit. Bengkak dan menghitam. Dihantam oleh teman kelasnya sendiri. Ternyata si Amat pelakunya.

Kami sangat terkejut dan malu. Bagaimana bisa kami pihak sekolah tidak mengetahui kejadian seperti itu? Wali kelasnya pun tidak. Siswa cidera serius bahkan sudah 3 hari tidak masuk. Kepala sekolahpun meminta maaf dengan lapang dada. Berterima kasih kepada wali murid yang sangat sabar itu. Biarpun anaknya mengalami hal seburuk itu. Dia masih bisa menahan diri, menghadap ke sekolah dengan baik dan sopan. Amat mendapat penanganan khusus.

Beberapa bulan kemudian. Si Amat membuat saya benar-benar terharu. Dia yang dulu jawara berubah drastis. Saat kelasnya ribut, dialah yang meminta teman-temannya tenang. Baik saat ada guru atau pelajaran kosong. Saat teman-temannya berkelahi, dialah yang mendamaikan. Diapun tampak lebih tenang dan kalem.

Ika, Ratno, dan Amat adalah beberapa siswa luar biasa saat saya masih mengajar di sekolah lama, SDN 1 Bayan. Sekarang saya sudah pindah ke sekolah lain. SDN 3 Sambik Elen. Ternyata di sana juga saya bertemu anak-anak luar biasa.

Saat pawai karnaval tujuh belasan beberapa minggu yang lalu. Seorang anak melonjak gembira menemukan sebuah bak sampah di pinggir jalan. Namanya Wahyu. Tegopoh-gopoh menuju bak sampah dan membuang sebuah botol air mineral bekas minum. Rupanya sudah lama lama dia ingin membuang botol itu. Tapi tidak menemukan bak sampah sepanjang rute karnaval. Membuang di pinggir jalan dia tidak mau. Padahal pada kontingen yang lain, jangankan siswa, guru pun tampak acuh membuang begitu saja gelas plastik air mineral bekas mereka minum. Sedangkan Wahyu masih anak kelas 2 SD.

Dan hari Jumat kemarin. Yulia Yasmin, siswi kelas tiga. Tiba-tiba berteriak lantang. Bertanya ke teman-temannya yang sedang bergerombol belanja. Bertanya siapa yang merasa kehilangan uang. Yulia telah menemukan selembar uang 5 ribuan. Uang itupun diserahkan Yulia ke pemiliknya.

Sebuah Paradoks

Jika sekarang kita menemukan masyarakat yang egois, hanya mementingkan dirinya sendiri. Maka kita butuh generasi seperti Ika dan Ratno untuk berubah. Jika sekarang kita melihat negeri kita bertabur sampah, di darat, pinggir jalan, sungai, laut bahkan puncak gunung yang sangat tinggi seperti Rinjani, maka kita butuh sebanyak-banyaknya generasi seperti Wahyu. Jika hari ini kita miris melihat aksi bullying, maka kita butuh generasi seperti Amat. Jika hari ini kita sampai tidak bisa berkata apa-apa melihat maraknya perilaku korup, maka kita butuh generasi jujur seperti Yulia.

Tapi sayang. Kenyataan berkata lain. Kita sudah mengetahui seperti apa keadaan bangsa kita. Kita pun sudah mengetahui generasi seperti apa yang kita butuhkan untuk berubah. Generasi yang memiliki karakter seperti siswa-siswa di atas. Tapi kita tidak pernah serius mencetak generasi yang dibutuhkan itu. Kita terlalu fokus pada prestasi akademik. Orang tua berlomba-lomba secepat mungkin membuat anaknya menguasai Calistung, bahkan ketika usia PAUD. Bila perlu saat masih Balita, ketika sudah mulai bisa bicara.

Guru-guru menganak emaskan siswa-siswa yang prestasi akademiknya mentereng. Siswa yang kurang memiliki prestasi akademik seolah sebagai pelengkap saja.

Kita semua mendewa-dewakan prestasi akademik. Seolah itulah segalanya. Padahal di negara maju yang terjadi sebaliknya.

Saya teringat cerita seorang praktisi pendidikan, pemilik Sekolah Mahakarya Gangga. Ayah Edy.

Saat berdiskusi dengan seorang guru dari Australia. Guru itu berkata. Kami tidak khawatir jika anak-anak SD kami tidak pandai Matematika, kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.

Ketika ditanya mengapa bisa begitu? Guru Australia itu menjawab: Jauh lebih gampang melatih anak-anak untuk bisa Matematika, butuh beberapa bulan saja. Sementara melatih mereka bisa mengantri jauh lebih sulit. Bertahun-tahun belum tentu berhasil. Dan tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu Matematika yang rumit, kecuali tambah, kurang, kali, bagi. Sebagian mereka akan menjadi penari, atlet, penyanyi, musisi, pelukis, dan sebagainya. Hanya sebagian kecil dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara semua murid dalam satu kelas ini pasti akan membutuhkan etika moral dan pelajaran berharga dari mengantri sepanjang hidup mereka kelak.

Demikianlah kenyataannya. Bagaimana karakter, etika-moral jauh lebih penting dari prestasi akademik. Kitapun mengetahuinya. Menyadarinya. Tapi entah mengapa budaya kita yang terlalu mendewa-dewakan prestasi akademik sulit berubah.

Pemerintah sendiri tidak habis-habisnya berusaha mengubah budaya ini. Kurikulum diganti. Ujian Nasional bukan penentu kelulusan. Pengintegrasian pendidikan karakter, melarang memberikan PR Matematika tapi diganti dengan PR yang menumbuhkan budi pekerti seperti menolong sesama. Sampai beberapa hari yang lalu Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres No. 87 Th. 2017 tentang penguatan pendidikan karakter.

Tapi dunia pendidikan dengan dewa prestasi akademiknya sepertinya tak akan bergeming. Tetap seperti biasa. Kokoh-padu tak tergoyahkan. Seperti sebelum-sebelumnya.

Maka. Lupakanlah mimpi bahwa kita akan melihat Indonesia bertaburan orang-orang seperti Ika, Ratno, Amat, Wahyu, atau Yulia. Maka Indonesia akan tetap terlihat seperti ini. 10, 50, 100 tahun yang akan datangpun mungkin akan tetap seperti ini. Bertabur sampah, kemiskinan, orang-orang egois, penjahat, dan koruptor. *LBS*

*) Ditulis oleh Lukman bin Saleh. Guru SDN 3 Sambik Elen-Lombok Utara.