Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ujian Nasional dan PPDB Sistem Zonasi

Ujian Nasional dan PPDB Sistem Zonasi
Pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB yang memberikan bobot sangat kecil untuk nilai UN sudah semestinya disikapi pemerintah dengan meniadakan UN itu sendiri.

“Buat apa belajar sungguh – sungguh demi mengejar nilai UN sebagus mungkin, toh pada akhirnya bakal tergeser juga sama anak yang nilainya biasa – biasa tapi rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju”.

Itulah salah satu bentuk kekecewaan yang disampaikan oleh salah seorang siswa SMP ketika diminta pendapatnya tentang pemberlakuan sistem zonasi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini. Menurutnya, dengan diberlakukannya sistem zonasi, seluruh jerih payah yang ia lakukan untuk mendapatkan nilai terbaik menjadi tidak ada artinya hanya karena terkendala jarak. Ia pun lantas mengusulkan agar pemerintah sekalian menghapus UN karena dinilai mubazir.

Apa yang diungkapkan oleh siswa SMP tersebut tentunya juga dirasakan oleh anak – anak lainnya di seluruh tanah air. Pemberian bobot yang sangat kecil bagi nilai UN akan berakibat pada menurunnya motivasi belajar anak. Begitu pula dengan anak yang kebetulan tempat tinggalnya tak jauh dari sekolah yang dituju, pemberian bobot yang sangat besar dalam hal jarak akan membuat anak tidak maksimal dalam mendapatkan nilai terbaik. Mereka yang tinggal di sekitar lingkungan sekolah tersebut dikhawatirkan tidak akan belajar dengan sungguh – sungguh karena merasa yakin akan diterima.

Menyikapi fenomena tersebut, penulis melihat setidaknya ada dua persoalan krusial. Pertama, label sekolah favorit nampaknya masih melekat dalam benak siswa maupun orangtua mereka. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan (sebagian) masyarakat dalam memahami maksud dan tujuan diberlakukannya sistem zonasi. PPDB dengan sistem zonasi pada hakikatnya dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan mutu pendidikan di setiap daerah. Artinya, setiap sekolah dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas layanan pendidikannya sebagaimana dilakukan oleh sekolah – sekolah “favorit”. Dalam konteks ini, dukungan secara maksimal dari para orangtua akan sangat menentukan kualitas layanan yang diberikan oleh sekolah.

Kedua, pemberlakuan sistem zonasi dalam PPDB yang memberikan bobot sangat kecil untuk nilai UN sudah semestinya disikapi pemerintah dengan meniadakan UN itu sendiri. Pemberian bobot “minimalis” untuk nilai UN bukan hanya berlaku pada proses PPDB saja, namun juga proses penerimaan calon mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Saat ini nilai UN hanya dijadikan variabel terakhir dalam penentuan kelulusan calon mahasiswa dengan bobot tak lebih dari 10 persen.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan UN di tingkat SMP dan SMA / SMK tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Urgensi UN semakin hari kian pudar seiring berkembangnya tuntutan zaman. Pelaksanaan UN di era zonasi hanya akan menambah kecemburuan sosial serta menurunkan motivasi belajar anak. Alangkah bijaknya apabila anggaran untuk pelaksanaan UN yang sangat besar itu dimanfaatkan untuk kepentingan lain yang lebih bermanfaat seperti meningkatkan kompetensi guru serta perbaikan sarana pembelajaran.

*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani. Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial, Tinggal di Subang, Jawa Barat.