Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget HTML #1

Ternyata Merdeka Belajar Adalah Merek Dagang Bukan Pemikiran Mendikbud

Ternyata Merdeka Belajar Adalah Merek Dagang Bukan Pemikiran Mendikbud
Konsep Merdeka Belajar yang digaungkan Mendikbud Nadiem Makarim ternyata bukan merupakan pemikirannya sendiri. Merdeka Belajar ini sudah didaftarkan sebagai merek dagang dari PT Sekolah Cikal.

Konsep Merdeka Belajar yang digaungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim ternyata bukan merupakan pemikirannya sendiri. Hal ini dikatakan Anggota Komisi X DPR RI Adrianus Asia Sidot dalam diskusi daring yang dibesut Vox Point Indonesia baru-baru ini.

"Jadi pada awal November 2019, Mas Nadiem menyampaikan konsep Merdeka Belajar. Dan, sampai hari ini, kami masih mempelajari dan mendalami konsep-konsep tersebut termasuk juga Kampus Merdeka yang disampaikan Mas Nadiem ketika pertama kali raker dengan Komisi X," kata Adrianus.

Perlu diketahui, konsep Merdeka Belajar ini sudah didaftarkan sebagai merek dagang dari perusahaan pendidikan milik Najelaa Shihab (PT Sekolah Cikal). Namun, dalam beberapa kali raker, Nadiem tidak pernah mengungkapkan hal tersebut. Ia mengkhawatirkan jika pendidikan terutama terkait dengan konsep Merdeka Belajar dikendalikan perusahaan swasta.

Lihat juga: Kemendikbud Belum Serius dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan

Kontroversi masalah jargon Merdeka Belajar yang ternyata sudah didaftarkan sebagai merek dagang PT Sekolah Cikal ke Kemenkum HAM, jadi sorotan Pengamat dan Praktisi Pendidikan dari Taman Siswa, Darmaningtyas. Dia menilai akan berbahaya bila konsep Merdeka Belajar dikapitalisasi. Sebab, dampaknya akan berujung kepada sanksi hukum.

"Begitu Merdeka Belajar jadi merek dagang suatu perusahaan pendidikan swasta nasional, implikasinya pasti ke hukum. Siapapun yang menggunakan istilah tersebut implikasinya ke hukum. Inilah sisi negatif dari kapitalisasi pendidikan,” kata Tyas yang SekolahDasar.Net kutip dari JPNN (14/07/20).

Dia menjelaskan, kalau pemakaian suatu nama tidak membayar royalti, mungkin itu tidak ada masalah. Namun, ketika itu berimplikasi misalnya pada royalti yang harus dibayar Negara, dalam hal ini kemendikbud, maka itu jadi masalah. Karena kemendikbud juga menggunakan jargon Merdeka Belajar.

"Saya berdiskusi dengan teman-teman dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Mereka mengucapkan, Konsep Merdeka Belajar, Kampus Merdeka atau Merdeka Kuliah itu ternyata itu sudah digagas Rektor Universitas Terbuka (UT) pertama, Setiadi. Bahkan konsep UT itu bukan cuma pendidikan jarak jauh tetapi sistemnya terbuka. Jadi orang-orang yang tidak lulus SMA pun bisa daftar UT selama punya kemampuan," kata Tyas.

Jadi, menurut Darmaningtyas, Merdeka Belajar merupakan konsep pendidikan yang sudah lama, di era 70-an sampai 80-an. Dikatakan, jika itu sesuatu yang sifatnya milik publik tetapi kemudian dipakai untuk produk suatu perusahaan implikasinya cukup luas. Sebab, siapapun yang pakai istilah Merdeka Belajar akan kena saksi hukum. Ini salah satu sisi negatif dari kapitalisasi ilmu pengetahuan dan sangat dikhawatirkan.

"Bisa saja Founder Sekolah Cikal tidak mengambil royalti. Mungkin saat konsep Merdeka Belajar ditawarkan kepada Mendikbud Nadiem dan diterima. Kalau cuma sebatas itu mungkin tidak masalah. Yang jadi masalah ketika diterimanya itu kemudian perusahaannya mendapatkan kompensasi dari dana APBN," jelasnya.

Menurut Tyas, substansi Merdeka Belajar Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan itu harus memberikan kebebasan kepada minat dan bakat murid. Butet Kertarajasa, salah satu lulusan Taman Siswa. Taman Siswa itu dibuat menyenangkan. Murid-murid bisa memilih kegiatan sesuai bidang yang diminati. Sedangkan guru hanya jadi pamong karena khusus ngemong keinginan dan minat siswa.

Dalam diskusi tersebut Wakil Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim memertanyakan jargon Merdeka Belajar yang digaungkan Ki Hadjar Dewantara telah didaftarkan sebagai merek dagang PT Sekolah Cikal ke Kemenkum HAM sejak 2018 dan sudah terdaftar Mei 2020. Merdeka Belajar ini kemudian dijadikan kebijakan pendidikan nasional oleh Mendikbud Nadiem Makarim.

"Jujur saja ketika Mas Menteri menggaungkan Merdeka Belajar kami terbawa euforia itu. Setiap kegiatan yang berbau pendidikan selalu menggunakan istilah Merdeka Belajar. Namun, belakangan kami insan pendidikan terkejut setelah mengetahui Merdeka Belajar itu sudah jadi merek dagang Sekolah Cikal sejak 2018," kata Satriwan.

Sebagai pendidik, Satriwan mengaku, tidak mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan Merdeka Belajar. Namun dia dan rekan-rekannya sesama pendidik berusaha membumikan program Mendikbud Nadiem tersebut. Terlebih, istilah Merdeka Belajar bukan hal baru lagi untuk para guru. Jargon Ki Hadjar Dewantara itu sudah akrab di kuping mereka. Bahkan, buku-buku Ki Hadjar Dewantara tentang Merdeka Belajar masih ada.

Satriwan juga mengkritisi konsep Merdeka Belajar ala Nadiem yang dinilai tidak jelas. Paket kebijakan Merdeka Belajar hingga tahap lima ini masih diraba-raba kalangan pendidik. Lantaran naskah akademiknya belum ada. Dia mencontohkan kaitannya Merdeka Belajar dengan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB).

"Saya ditanya murid saya, soal hubungan Merdeka Belajar dengan PPDB itu apa. Kalau Merdeka Belajar dengan Ujian Nasional (UN) saya bisa menjelaskan. Namun, dengan PPDB saya terus terang enggak bisa jawab karena naskah akademiknya belum ada sampai sekarang," kata Satriawan.

Dia pun berharap Kemendikbud bisa memberikan penjelasan secara transparan tentang kaitan Merdeka Belajar yang dijadikan program pendidikan nasional dengan merek dagang Sekolah Cikal. Jangan sampai negara malah memberikan fasilitas kepada perusahaan pendidikan swasta yang kualitasnya belum teruji.